CERMIN KOSMIS WOLFGANG WIDMOSER
oleh Arif Bagus Prasetyo
Di belakang studio sang perupa, ada pot teratai. Di dalam pot, cermin mengapung. Di dalam cermin, semesta membentang. Pohon dan langit. Kuil dan penari. Bunga segar dan daun kering. Kehidupan dan kematian bercengkerama dengan warna dan cahaya. Simfoni siklus agung abadi tercermin dalam keindahan yang fana dan sederhana.
Seri lukisan Wolfgang Widmoser dalam pameran Mirror Symphony di Galeri Zen1, Bali, pada 12 Desember 2020 sampai 11 Januari 2021, berpusat pada objek hias yang terasa akrab dan remeh: kolam pot teratai. Namun, di dalam pot itu terdapat bola cermin, sesuatu yang tidak lumrah. Bola cermin itu memantulkan citra sebuah dunia yang melingkupi dan sekaligus melampaui keterbatasan pot teratai. Ia ibarat mata yang meluaskan medan penglihatan untuk menjangkau realitas di balik penampakan normal sehari-hari.
Kolam pot teratai dan bola cermin dipilih Wolfgang sebagai simbol untuk mengungkapkan visinya tentang kemampuan seni dalam mendobrak keterbatasan persepsi. Perupa kelahiran Munich, Jerman, 1954, ini melukis sebuah dunia yang sangat sempit, dunia teratai dalam pot, tetapi tatapan mata batinnya tertuju ke kemahaluasan semesta.
“Aku menyelam ke dunia tanaman air… dan aku mulai terpesona menjelajahi dunia itu. Sekali lagi kutemukan Semesta melalui semacam cermin yang memuat seluruh jagat raya,” kata Wolfgang yang sempat berguru langsung pada maestro seni rupa dunia, Salvador Dali dan Ernst Fuchs.
Cermin yang memuat seluruh jagat raya. Itulah cermin kosmis yang dilambangkan dengan bola cermin dalam lukisan Wolfgang. Bola cermin bagaikan jagat kecil yang mencerminkan jagat besar. Di dalamnya kita melihat alam dan waktu, manusia dan budaya, pertumbuhan dan pembusukan. Materi dan energi. Teater Semesta.
“Matahari, bulan dan awan, bayangan dan cahaya, bunga, daun dan serangga kecil, embun yang mengumpulkan tanah seperti pesulap… Mikrokosmos dan makrokosmos tersingkap sebagai ungkapan kemahasegalaan, dan kita hanya bisa mengamati ajaibnya kesadaran,” tutur sang pelukis.
Bola cermin dalam lukisan Wolfgang tidak hanya memantulkan, tetapi juga dipantulkan. Air di dalam pot teratai adalah cermin kedua yang memantulkan bola cermin yang memantulkan semesta. Lukisan itu sendiri adalah cermin ketiga yang memantulkan air di dalam pot teratai, bola cermin, dan semesta. Dan akhirnya, mata pemirsa adalah cermin keempat yang memantulkan lukisan yang memantulkan air yang memantulkan bola cermin yang memantulkan semesta. Lukisan Wolfgang membisikkan bahwa kita adalah cerminan semesta. Jagat raya berada di luar dan sekaligus di dalam diri kita.
Dengan cara yang modern, anggun dan puitis, lukisan Wolfgang memeragakan visi klasik tentang Cermin Kosmis atau Cermin Universal. Sebagaimana yang diungkapkan Paula M. Hancock dalam “Transformations in the Iconography of the Mirror in Medieval Art” (1988), visi ini memandang alam semesta sebagai entitas-entitas yang mencerminkan. Alam semesta dimaknai sebagai deretan cermin.
Dalam filsafat Neo-Platonisme yang berkembang pada abad III, dunia adalah pancaran dari Yang Esa. Ciptaan diibaratkan sebagai bayangan dari figur tunggal pada banyak cermin. Visi Cermin Kosmis memahami semesta sebagai makrokosmos yang dicerminkan dalam mikrokosmos: struktur besar yang dicerminkan dalam bagian-bagiannya yang lebih kecil. Gagasan tentang makro-mikrokosmos meresapi teologi Kristen sejak abad III, kosmologi Abad Pertengahan (abad V – XV) di Eropa, dan juga kosmologi tradisional di Pulau Bali – tempat Wolfgang bermukim selama puluhan tahun.

Cermin telah lama menjadi bagian integral dari seni lukis Wolfgang. Banyak lukisan terdahulu Wolfgang yang dikerjakan dengan menggunakan bantuan cermin, terutama untuk mendeformasi figur. Dalam situs webnya (wolfgangjohanneswidmoser.com), Wolfgang mengaku fanatik dalam hal melukis secara klasik dengan kuas dan cermin. Kefanatikan ini tentu tidak terlepas dari latar belakang artistik Wolfgang yang menguasai teknik seni lukis Renaissance, corak seni lukis realisme naturalistis yang berkembang di Italia pada abad XV.
Penggunaan cermin menyandangkan salah satu ciri khas unik pada karya-karya Wolfgang dari masa ke masa. Dalam seri lukisan potret perempuan yang dihasilkan Wolfgang pada dekade yang lalu, misalnya, wajah perempuan cantik didistorsi sedemikian rupa sehingga terlihat meliuk seperti terpantul dari cermin cembung atau cekung. Pada masa sebelumnya, Wolfgang juga menerapkan metode pendistorsian citra dengan cermin seperti itu dalam seri lukisan potret orang pedalaman Papua dan seri lukisan alam benda (still life) bersubjek cangkang kerang.
Wolfgang melukis dengan mengacu pada dunia nyata yang tidak asing. Namun, penggunaan cermin menghasilkan citra terdistorsi yang menimbulkan semacam efek pengasingan. Lukisan Wolfgang berpijak pada kenyataan, tetapi sering membentangkan panorama yang terasa tak nyata.
Dalam banyak karya lama Wolfgang, cermin digunakan sebagai alat bantu melukis, tetapi tidak muncul dalam lukisan. Kali ini Wolfgang menempuh strategi berbeda. Semua lukisan yang ditampilkan dalam pameran Mirror Symphony tidak hanya menghadirkan efek pengasingan melalui citra terdistorsi, yaitu bayangan pada bola cermin, tetapi juga melalui kehadiran bola cermin itu sendiri di lingkungan yang tidak lazim. Bola cermin dalam kolam pot teratai tentu bukan pemandangan yang sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari.
Efek pengasingan juga bangkit dari cara Wolfgang menangani subjek lukisannya. Wolfgang tidak sekadar menyalin atau mentransfer kolam pot teratai dari kenyataan ke lukisan. Ia melakukan blow up terhadap kolam pot teratai, melukisnya secara close-up dengan detail realistik tingkat tinggi. Warna dan tekstur dalam lukisan juga digarap sedemikian rupa sehingga tampak lebih intensif, lebih dramatis, daripada kenyataan yang dilukis. Akibatnya, unsur-unsur kolam pot teratai (bibir pot, air, daun, bunga, bayangan, bola cermin dsb.) membentuk suatu lanskap yang terasa akrab, namun sekaligus seperti bukan bagian dari dunia yang kita kenal. Dalam pot teratai Wolfgang, kita seperti melihat panorama asing, mungkin di luar bumi, mungkin di dimensi yang berbeda.
Di tangan Wolfgang, kolam pot teratai dan bola cermin menyingkapkan sekilas dunia lain yang fantastis. Panorama kolam pot teratai dalam lukisannya terlihat begitu meyakinkan, begitu natural, tapi sekaligus terasa artifisial, melenceng dari penampakan normal dalam pengalaman kita sehari-hari. Ada sesuatu yang aneh dan misterius, semacam suasana alien atau out of place, yang menyelubungi kehadiran objek-objek yang sesungguhnya tidak asing bagi mata kita. Dunia kolam teratai dalam lukisan Wolfgang terlihat begitu dekat, namun juga tak terjangkau. Kasatmata, tapi juga melampaui kapasitas indra penglihatan. Real dan sekaligus ilusif.
Wolfgang mengaku seni lukisnya condong ke aliran Realisme Fantastis. Ketika masih berusia 20-an, Wolfgang memang belajar melukis pada Ernst Fuchs, seniman besar dunia yang mendirikan kelompok Realisme Fantastis Mazhab Wina. Kaum seniman Realisme Fantastis mengungkapkan fantasinya melalui berbagai citraan yang dipilih dan ditata secara sadar. Fantasi mereka berorientasi pada kosmos, tatanan dan keteraturan. Dunia fantasi Realisme Fantastis ibarat taman, bukan hutan rimba yang liar.
Secara praktis maupun simbolis, cermin merupakan sarana Wolfgang untuk mengungkapkan visinya tentang keanggunan, keindahan, dan kebenaran yang melampaui realitas natural. Mata sang pelukis mengarungi sisi realitas yang terbatas dan sementara, namun visinya menggapai sisi lain realitas yang tak terbatas dan abadi. Dengan menjelajahi dunia kolam teratai mungil di belakang studionya, Wolfgang menguakkan untuk kita dimensi lain realitas yang sebelumnya tersembunyi. Sebagaimana sains, seni lukis Wolfgang memperkaya pemahaman kita tentang realitas.
Pingback: 1st[ART]: Pameran Seni Lima Galeri | maca