Cerita ALBERTO MORAVIA

Kejahatan di Klub Tenis

oleh Alberto Moravia

terjemahan Kiki Sulistyo dan Pasky Nurguna

Di pertengahan musim dingin, komite klub tenis paling terkenal di kota kami berniat mengadakan pesta besar. Komite itu beranggotakan para juragan. Lucini, Mastrogiovanni, Costa, Ripandelli, dan Micheli, sepakat menyisihkan sejumlah uang untuk menyediakan sampanye dan minuman lain serta berbagai penganan, juga untuk membayar band penampil. Lalu mereka menyusun daftar siapa saja yang akan diundang. Para anggota klub itu adalah masyarakat kelas menengah-atas; mereka semua kaya dan berasal dari keluarga terpandang dan – sejak orang harus memiliki pekerjaan – penampilan mereka menunjukkan suatu profesi tertentu: jadi sebenarnya tidak sulit untuk mengumpulkan, dari para relasi, teman dan kenalan, nama-nama yang pantas, banyak di antaranya didahului dengan gelar bangsawan yang sebenarnya tidak begitu punya peran, tetapi nantinya akan memberi kilau aristokrat pada acara tersebut di kolom surat kabar. Meskipun begitu, ketika tidak ada lagi yang harus diselesaikan kecuali mengirim undangan, tiba-tiba muncul – sebagaimana biasa – masalah tak terduga.

     “Bagaimana dengan ‘Si Tuan Putri’ – apakah kita akan mengundangnya?” tanya Ripandelli, pemuda tiga puluhan, tampan dalam gaya Selatan, dengan rambut gelap berkilau, mata hitam, dan wajah oval yang sempurna; dia terkenal karena kemiripannya dengan salah seorang bintang film Amerika dan dia menyadari hal itu serta menggunakannya untuk memikat para perempuan.   

     Mastrogiovanni, Lucini, dan Micheli setuju dengan gagasan untuk mengundang ‘Si Tuan Putri’; ia akan membawa kesenangan tambahan, kata mereka, bahkan mungkin satu-satunya kesenangan; lalu sambil terbahak dan menepuk-nepuk punggung yang lain, mereka mengingat peristiwa yang terjadi terakhir kali: bagaimana ‘Si Tuan Putri’ minum sampanye terlalu banyak sampai mabuk, lalu seseorang menyembunyikan sepatunya, dan ia terpaksa harus menunggu sampai tamu terakhir pergi supaya ia tidak malu berjalan keluar dengan kaki berbalut stoking…   

     Hanya Costa – si burung pembawa sial, julukan untuknya – yang tinggi, canggung, dengan kacamata besar berbingkai cangkang penyu di hidung mancungnya dan pipi kurus serta cambang yang tak pernah dicukur rapi – yang tidak sepakat.

     “Tidak,” katanya; “kali ini biarkan ia tinggal di rumahnya. Si Tuan Putri…aku sudah muak dengannya sejak pesta dansa terakhir. Jika kau ingin kesenangan, kau bisa pergi dan mengunjunginya, tapi jangan lakukan di sini…”

     Rekan-rekannya menentang Costa dan mengatakan padanya apa yang mereka pikirkan tentang dia – bahwa dia bodoh dan selalu merusak rencana dan, bagaimanapun juga, bukan pemilik klub. Mereka sudah duduk selama dua jam di ruang komite yang sempit itu, udara berkabut oleh asap rokok; hangat dan lembab dalam ruangan karena plester dinding yang baru, dan mereka semua mengenakan sweter tebal dengan warna yang berbeda-beda di bawah mantel mereka. Sementara di luar, terpantul dari kaca jendela, tampak sebatang cemara, tidak bergerak, kelihatan murung dengan latar belakang langit kelabu yang tak diragukan lagi menunjukkan bahwa hari sedang hujan. Costa berdiri.

     “Aku tahu,” dia berkata, “Aku tahu kalian punya niat buruk pada perempuan malang itu. Dengar, kalian semua tidak senonoh dan seharusnya kalian malu pada diri kalian sendiri.”

     “Costa, aku kira kau bisa lebih pintar,” Ripandelli berkata, tanpa bergerak dari tempatnya.

     “Dan aku tak menyangka kau selicik itu,” balas Costa; dia mengambil mantelnya dari gantungan dan melangkah keluar tanpa berkata apa-apa.

     Setelah berdiskusi selama lima menit, secara mutlak komite memutuskan untuk mengundang ‘Si Tuan Putri’ ke pesta nanti.

     Pesta dimulai sekitar jam sepuluh. Hujan yang turun sepanjang hari membuat malam terasa lembab dan berkabut; di ujung jalan, berdiri gedung perkumpulan itu, dan di kegelapan antara barisan pohon-pohon yang menjulang, terlihat cahaya-cahaya bersilangan, para penumpang yang merupakan tamu-tamu undangan sudah tiba. Di ruang depan, para pelayan membantu tamu-tamu melepas mantel mereka, kemudian para perempuan dengan gaun malam, para lelaki dengan jas panjang, serentak bergerak, sambil berbincang dan tertawa, memasuki ruang utama yang terang benderang. 

     Ruangan itu luas dan tingginya mencapai keseluruhan gedung: balkon dengan pagar kayu bercat biru mengelilinginya di lantai pertama, di belakang balkon-balkon itu terdapat beberapa ruangan yang digunakan sebagai kamar ganti atau tempat menyimpan alat-alat olahraga. Lampu gantung besar dengan gaya dan warna yang sama dengan pagar pembatas tergantung di langit-langit. Untuk keperluan pesta, ornamen lentera Venesia dibentangkan ke empat penjuru ruangan; lis dinding juga dicat biru; dan di pojok ruangan, di bawah tangga kecil yang menuju lantai atas terdapat sebuah bar, dengan deretan botol-botol berwarna terang dan mesin kopi yang mengilat.

     ‘Si Tuan Putri’, yang sebenarnya sama sekali bukan seorang putri bangsawan, melainkan seorang janda (kabarnya ia pernah memasuki pergaulan elite, tetapi diusir karena desas-desus soal perselingkuhan, kawin lari, dan perkara uang), tiba sekitar pukul sebelas. Ripandelli, yang sedang duduk bersama beberapa perempuan persis menghadap pintu yang terbuka lebar menuju ruang depan, segera mengenali sosok  – pendek, sedikit bungkuk, dengan kaki membuka keluar mirip kaki unggas – yang membelakanginya itu, ia menyerahkan mantelnya pada pelayan. “Itu dia,” pikir Ripandelli, hatinya dipenuhi kegembiraan, dia melewati kerumunan orang yang sedang berdansa untuk menghampiri perempuan itu dan tiba tepat saat perempuan itu hendak menampar pelayan, yang karena alasan sepele, telah bertengkar dengannya.

     “Selamat datang, selamat datang,” seru Ripandelli dari ambang pintu.

     “Ah, Ripandelli, kemari dan bebaskan aku dari cecunguk ini,” ujarnya.

     Wajah ‘Si Tuan Putri’ sama sekali tidak cantik. Di bawah rambut keriting, yang dipotong pendek, mata hitamnya,  dilingkari keriput, kelihatan liar; lubang di hidungnya yang mancung dan sensual dipenuhi bulu; mulutnya lebar, dengan bibir bergincu yang rusak oleh usia dan tak henti-hentinya mengumbar senyum jorok. Ia mengenakan gaun norak: di atas gaunnya yang ketinggalan zaman itu, dengan rok panjang dan korset ketat yang kelihatan berlebihan, payudaranya menyembul, di lehernya melingkar syal hitam yang dibordir dengan motif burung dan bunga, dalam semua  kemungkinan warna yang ada – dengan maksud, mungkin, untuk menyembunyikan kerah gaunnya yang terlalu rendah; dan di atas keningnya, sebuah bando secara ajaib justru membuat rambutnya tampak semakin berantakan.

     Dengan penampilan itu, ditambah berbagai perhiasan imitasi, ia memasuki ruang utama dan melihat sekeliling melalui kacamata berbingkai perak. Untungnya, para tamu lain sedang asyik berdansa sehingga tak menyadari kehadirannya yang mencolok itu. Ripandelli menggiringnya ke pojok. “Tuan Putri tercinta,” ujarnya, dengan nada yang terdengar kurang ajar, “apa jadinya kami kalau kau tak datang..”

     Dari ekspresi di matanya, jelas terlihat betapa perempuan itu selalu menganggap serius semua hal bodoh yang diucapkan padanya; namun jauh dari kesan kekenesan, ia menjawab: “Kau anak muda ingin menggaet semua perempuan, dan semakin banyak perempuan yang kaudapatkan, semakin baik buatmu, bukannya begitu?”  

     “Bagaimana kalau kita berdansa?” ajak Ripandelli. Dia menggandeng perempuan itu ke lantai dansa. “Kau berdansa seperti sehelai bulu,” kata lelaki itu, ketika dirasakannya seluruh bobot si perempuan bertumpu di bahunya.

     “Semua orang bilang begitu,” balas si perempuan dengan suara nyaring. Menyandarkan kepala ke dada Ripandelli, ia sedikit gemetar dan dipenuhi gairah. Ripandelli jadi lebih berani. “Tuan Putri, kapan kiranya kau undang aku ke rumahmu?”

     “Aku hanya punya sedikit teman,” jawab perempuan malang yang, telah diketahui banyak orang, hidup dalam kesendirian itu; “Baru-baru ini aku juga bilang begitu pada Bangsawan L. yang menanyakan hal sama denganmu. Temanku yang sedikit itu adalah orang-orang terpilih. Susah menemukan orang-orang semacam itu sekarang.”

     “Dasar jalang tua,” pikir Ripandelli. “Tidak, tidak” katanya melanjutkan, “Aku tidak mau diundang bersama orang lain. Kau harus mengundangku secara pribadi… ke kamar kerjamu, misalnya… atau mungkin… atau mungkin ke kamar tidurmu.”

     Itu sungguh suatu kelancangan, tapi perempuan itu menerimanya tanpa protes, “Kalau aku mengundangmu,” ucapnya lembut dengan napas yang seolah mengikuti gerak dansa, “maukah kau berjanji untuk berlaku baik?”

     “Sebaik-baiknya.”

     “Kalau begitu aku akan mengizinkanmu mengantarku pulang… Kau punya mobil, kan?”

     Acara dansa sementara berakhir, para tamu pindah ke ruang santai, Ripandelli menyebut sebuah kamar privat di lantai pertama, tempat sebotol sampanye sudah menunggu. “Lewat sini,” katanya, menunjuk tangga; “di atas, kita bisa berbincang lebih akrab.”

     “Oh, nakal, kau benar-benar nakal,” kata perempuan itu, buru-buru menaiki tangga sembari menatap curiga; “Kau sudah memikirkan semuanya.”

     Kamar privat itu adalah sebuah ruang kecil dengan deretan loker, tempat menyimpan raket-raket tenis,  mengelilingi dindingnya. Di tengah ruangan, di atas meja, terdapat sebotol sampanye dalam ember es. Anak muda itu menutup pintu, meminta ‘Si Tuan Putri’ duduk, dan segera menuang minuman.

     “Untuk kesehatan tuan putri paling cantik di dunia” – dia menatap sembari mengajak bersulang – “satu-satunya perempuan yang kupikirkan siang dan malam!”

     “Untuk kesehatanmu juga!” balasnya, kikuk sekaligus senang. Ia sudah melepas syalnya sehingga pundak dan belahan dadanya kelihatan jelas. Punggungnya yang ramping mungkin layaknya perempuan yang masih muda, tetapi jika dilihat dari depan, dari ujung gaun yang sudah pudar warnanya dan di tiap gerakan tersingkap, tampaklah kerutan-kerutan tubuh menandakan usia tuanya. Ripandelli, sambil bertopang dagu, menatapnya dengan mata penuh gairah yang dibuat-buat.  

     “Tuan Putri, apakah engkau mencintaiku?” tanya Ripandelli tiba-tiba, dengan nada suara penuh emosi.

     “Bagaimana denganmu?” balas perempuan itu dengan tenang. Lalu, seakan dikalahkan oleh godaan yang susah sekali ditolak, ia menjulurkan lengan dan meletakkan tangannya di belakang leher lelaki itu. “Bagaimana denganmu?” ia mengulang pertanyaannya.

     Ripandelli melirik sekilas ke pintu yang tertutup; para tamu tampaknya sudah kembali berdansa, dia bisa mendengar suara musik di bawah sana.

     “Sayangku,” dia berucap pelan, “Aku merindukanmu, kau membuatku gila, aku tak bisa berpikir dan mengungkapkan dengan tepat…” Tiba-tiba pintu diketuk dan sesaat kemudian terbuka; Lucini, Micheli, Mastrogiovanni, dan seorang lelaki lain masuk ke dalam ruangan. Lelaki keempat ini bernama Jancovich, dia adalah anggota tertua klub, berusia lima puluhan dengan rambut beruban, sosok kaku dengan wajah panjang dan kurus yang murung, hidung ramping, serta dua garis cekung seperti parit membentang dari mata sampai lehernya. Jancovich adalah seorang pengusaha, dia menghasilkan banyak uang; dia menghabiskan sebagian besar waktunya di klub tenis; dan di klub ini, termasuk oleh anggota yang lebih muda, dia dipanggil dengan nama baptisnya, Beniamino. Ketika melihat Ripandelli dan ‘Si Tuan Putri’, seakan sudah direncanakan sebelumnya, Jancovich meraung dan mengangkat kedua tangannya di atas kepala.

     “Ada apa ini? Anakku di sini? Bersama seorang perempuan? Perempuan yang kucintai pula?”

     Ripandelli berpaling pada ‘Si Tuan Putri’, “Ini ayahku,” ucapnya, “kami tersesat!”

     “Keluar dari sini!” bentak Jancovich tanpa ampun, “Keluar dari sini, bocah edan!”

     “Ayah,” jawab Ripandelli dengan angkuh, “aku hanya tunduk pada satu suara, suara hatiku!”

     “Dan kamu, Sayangku,” kata Jancovich berpindah pada ‘Si Tuan Putri’ dengan nada suara lebih bermartabat, “jangan biarkan dirimu direnggut oleh anakku yang kurang ajar itu; lebih baik denganku, rebahkan kepalamu di dada Benamino yang tak pernah berhenti mencintaimu ini.”

     “Kau bilang aku kurang ajar, ha?” Kalimat ini segera disusul oleh adegan penuh kemarahan dan kekacauan. Jancovich di satu sisi, Ripandelli di sisi lain, ditahan dengan susah payah oleh rekan-rekan mereka, seolah-olah berusaha menggunakan segala kemungkinan untuk saling menghantam; teriakan “Pegang mereka, pegang mereka, atau mereka akan saling bunuh” terdengar keras bersamaan dengan suara tawa yang ditahan-tahan; sementara ‘Si Tuan Putri’, ketakutan, bersembunyi di pojok, kedua tangannya saling menggenggam.

     Setelah beberapa lama, akhirnya kedua orang itu berhasil ditenangkan.

     “Tidak ada yang bisa dilakukan,” kata Lucini, melangkah ke depan. “Ayah dan anak jatuh cinta pada perempuan yang sama: satu-satunya cara adalah meminta Si Tuan Putri memilih.”

     Maka ‘Si Tuan Putri’ diminta menjatuhkan pilihannya. Bimbang, tersanjung, cemas, ‘Si Tuan Putri’ beranjak dari pojok dengan cara jalan melenggang seperti biasanya, satu kaki berpijak begini, dan satu lagi begitu. “Aku tidak bisa memilih,” ucapnya akhirnya, setelah menatap dengan cermat kedua orang yang bersaing itu, “karena… karena aku menyukai kalian berdua.”

     Suara tawa dan tepuk tangan segera terdengar. “Bagaimana denganku, Tuan Putri? Apakah kau menyukaiku?” tanya Lucini tiba-tiba, seraya meraih pinggang perempuan itu. Ini semacam tanda dimulainya pesta pora: ayah dan anak sudah berdamai dan saling memeluk, ‘Si Tuan Putri’ didudukkan di tengah-tengah mereka dan terus menerus dicekoki minuman. Dalam beberapa menit ia sudah mabuk: tertawa terbahak-bahak dan menepuk-nepukkan tangannya, dan rambutnya, tergerai menutupi wajahnya, membuat kepalanya tampak besar.

     Para lelaki mulai bertanya padanya, “Seseorang berkata padaku,” kata Micheli, “bahwa kau sebenarnya bukan putri bangsawan, bahwa kau sebenarnya bukan siapa-siapa, cuma anak seorang penjagal babi: apakah itu benar?” 

     Ia marah. “Itu fitnah, tak diragukan lagi, siapa pun yang mengatakan itu, pasti dia sendiri yang anak penjagal babi… Asal kau tahu saja bahwa sebelum perang ada seorang pangeran yang mengirimi aku sebuket anggrek, dengan secarik pesan terselip: Untuk Adelinaku tercinta, dari Gogó-nya…”

     Kata-kata ini mendapat sorak dan gelak. Kelima lelaki itu – yang membiarkan pacar-pacar gelap mereka, secara pribadi, memanggil mereka dengan berbagai sebutan, seperti Niní dan Lulú, malaikat kecilku dan lain-lain – nampaknya berpendapat bahwa nama panggilan Gogó, yang merupakan panggilan sayang Adeline itu, menunjukkan kedunguan belaka; mereka sampai meremas-remas pinggang mereka yang sakit karena menahan tawa. “Ah, Gogó. Gogó  yang nakal,” kata mereka berulang-ulang. ‘Si Tuan Putri’, teler dan tersanjung berat, menebarkan senyum dan pandangan dan tepuk tangannya ke segala penjuru. “Oh Tuan Putri, betapa lucunya dirimu!” seru Lucini persis di depan wajah perempuan itu, dan ia –seakan baru saja mendapat pujian – tertawa. “Oh Tuan Putri, Tuan Putriku,” Ripandelli bersenandung dengan sendu; tapi tiba-tiba wajahnya mengeras: dia menjulurkan tangan dan tanpa ragu-ragu meremas payudara perempuan itu. Dengan wajah memerah, perempuan itu berusaha menghindar, tapi sesaat kemudian kembali tertawa dan melemparkan pandangannya pada lelaki muda yang sudah menarik tangannya kembali. “Ugh, payudara yang lembek,” dia berseru pada yang lain. “Seperti meremas kain pel…. Bagaimana kalau kita telanjangi dia?” Sekarang semua berhenti tertawa, tawaran tadi segera mendapat persetujuan. “Tuan Putri,” kata Lucini, “kami dengar kau punya tubuh yang indah…. Nah, sekarang, berbaik hatilah dan biarkan kami melihatnya. Maka kami akan puas dan percaya.”

     “Ayolah, Tuan Putri,” kata Jancovich dengan nada rendah dan serius; dan tanpa aba-aba, meletakkan tangannya di pundak perempuan itu dan mulai menarik gaunnya ke bawah. “Kami tidak bisa lagi membiarkan kau menutupi tubuh indahmu itu, tubuh putih mulus seperti kepunyaan gadis belia….”

     “Oh, kalian semua tak tahu malu!” seru ‘Si Tuan Putri’, tertawa cekikikan. Namun, setelah didesak terus, ia mengabulkan permintaan mereka, menurunkan gaunnya sampai ke tengah payudaranya: matanya bersinar, dan sudut bibirnya gemetar karena senang.

     “Aku memang punya tubuh yang indah, bukan?” katanya ke Ripandelli. Tapi lelaki muda itu hanya menyeringai, dan yang lain berkata bahwa itu belum cukup, mereka ingin melihat lebih banyak; dan Lucini pun menarik ujung gaunnya. Lalu – entah karena ia mulai merasa malu menunjukkan tubuh paruh bayanya, atau karena kilatan kesadaran, mengatasi pengaruh anggur, membawanya kembali ke kenyataan, bahwa ia teler dan berantakan dengan dada setengah terbuka, dikelilingi para lelaki buas di ruangan sempit itu – seketika ia mulai memberontak: “Lepaskan aku, aku bilang, lepaskan aku,” ia memerintah, mencoba melepaskan diri. Tetapi upaya itu justru membuat kelima lelaki makin bergairah. Dua orang memegang tangan si perempuan, sementara tiga lainnya menarik gaunnya sampai pinggang, menampakkan tubuh kuning langsat yang mulai keriput, dengan payudara pucat dan lembek.

     “Ya ampun, betapa jeleknya ia!” seru Micheli, “dan banyak sekali pakaiannya! Ia dibuntal oleh pakaian…. Paling tidak, ada empat pasang celana dalam…” Yang lain tertawa, terhibur oleh pemandangan seorang perempuan buruk rupa, nyaris telanjang bulat, dan marah, berusaha menarik pinggangnya yang tertindih bobot tubuh mereka. Tidak mudah bagi ‘Si Tuan Putri’ untuk lepas dari kekejaman itu; paras yang merah padam di bawah rambut keriting-dombanya menunjukkan rasa takut, putus asa, dan malu. Tetapi perlawanan itu tidak membuat Ripandelli iba, malah membuatnya kesal, seakan dia melihat seekor binatang yang sudah terluka tapi tidak mau menyerah. “Perempuan jalang, kau mau diam atau tidak?” dia berteriak pada ‘Si Tuan Putri’, dan, guna memberi tekanan pada kata-katanya, dia mengambil gelas sampanye dari meja dan menyiramkan minuman ke wajah dan dada perempuan malang itu. Umpatan kasar tadi memunculkan rasa luka, lalu teriakan dan perlawanan yang makin kuat. Dengan berbagai cara, akhirnya perempuan itu berhasil membebaskan diri dan – mengibaskan rambutnya yang mekar bagai nyala api, menyeret gaun yang masih melekat di pinggangnya – berlari ke arah pintu.  

     Takjub oleh tindakan itu, untuk sesaat, kelima lelaki terdiam. Tapi Ripandelli segera berteriak: “Tangkap dia!” Mereka serentak bergerak, mengejar perempuan yang upaya melarikan dirinya, sebenarnya, telah digagalkan oleh pintu yang sudah lebih dulu dikunci. Micheli memegang tangannya, Mastrogiovanni membekap pinggangnya, Ripandelli menjambak rambutnya. Mereka menyeretnya kembali ke meja. Perlawanan perempuan itu telah membuat mereka geram, dan mereka merasakan hasrat kuat untuk menyakitinya, menusuknya dengan jarum, menyiksanya. “Sekarang kami ingin kau telanjang,” teriak Ripandelli tepat di depan wajah perempuan itu; “telanjang – begitu kami menginginkanmu.” Perempuan itu menatapnya dengan ketakutan, masih berupaya berontak; lalu, tiba-tiba, menjerit sejadi-jadinya.

     Mula-mula suaranya terdengar parau, lalu terisak-isak, lalu, tanpa diduga-duga, menjerit lagi dengan suara yang jauh lebih nyaring dan melengking. Micheli dan Mastrogiovanni, kelihatan takut, melepas pegangannya. Sementara Ripandelli, mungkin mulai sadar, untuk pertama kalinya, pada gawatnya situasi di mana, bersama rekan-rekannya, dia terlibat. Dia merasa seakan-akan ada tangan besar yang meremas jantungnya, sebagaimana orang meremas-remas spon. Kemarahan bangkit dalam dirinya, kebencian yang mengerikan atas perempuan yang sekarang kembali menghambur ke pintu. Lelaki itu berteriak, menghujani ‘Si Tuan Putri’ dengan tinju, sementara dia sendiri, pada saat yang sama, sudah dibutakan oleh rasa putus asa dan semacam derita yang membuatnya berpikir, “Tidak ada yang bisa dilakukan, sudah telanjur, tidak terelakkan lagi…” Sejenak dia ragu; lalu, seakan tangannya bukan miliknya lagi, bergerak tanpa kendalinya, dia meraih botol kosong di meja dan mengayunkan sekuat tenaga ke tengkuk perempuan itu.   

     Tubuh perempuan itu merosot ke lantai, dengan cara tertentu yang tak diragukan lagi akibat dari pukulan tadi; rebah ke kanan, bagian atas kepalanya membentur pintu, pakaiannya berhamburan bagaikan tumpukan kain lap. Berdiri di dekatnya, dengan botol masih di tangan, Ripandelli menajamkan penglihatannya ke punggung perempuan itu. Sejajar dengan ketiaknya, ada tahi lalat sebesar biji kacang; detail ini, ditambah rambut yang berantakan menutupi wajah, membuatnya berpikir sesaat, bahwa dia baru saja memukul orang lain dan untuk alasan yang juga lain – misalnya, seorang gadis cantik dengan tubuh sempurna yang sangat dicintainya – dan di atas tubuh yang mati itu, dengan sia-sia dia akan menangis dan menyesal, teramat menyesal,  berharap bisa membuat gadis itu hidup kembali. Tetapi kemudian tubuh di hadapannya itu mengejang dan berbalik, memperlihatkan wajah dan payudara yang lunglai, sungguh suatu pemandangan yang menggiriskan. Rambutnya menutupi mata (“Untunglah,” pikir Ripandelli), tapi mulutnya, separuh terbuka, mengingatkannya pada binatang ternak yang disembelih yang pernah dilihatnya di masa kecil. “Dia sudah mati,” katanya tenang, dan saat bersamaan merasa takut dengan ketenangannya sendiri. Lalu dia berbalik dan meletakkan kembali botol itu di atas meja.

     Empat lelaki lain, yang duduk di ujung ruangan dekat jendela, menatapnya tak mengerti. Meja di tengah ruangan menghalangi pandangan mereka dari tubuh ‘Si Tuan Putri’; mereka hanya sempat melihat pukulan tadi. Lalu, dengan rasa ingin tahu yang hati-hati, Lucini bangkit dan mencondongkan tubuhnya ke depan, melihat ke arah pintu. Tubuh itu tergeletak di sana, terlentang dekat pintu. Rekan-rekannya mengamati paras Lucini yang berubah pucat. “Kali ini kita sudah berbuat terlalu jauh,” ucapnya dengan suara lemah, tanpa berpaling.

     Micheli, yang duduk paling pojok, berdiri. Dia pernah jadi mahasiswa kedokteran, dan kenyataan itu seolah-olah memberinya tanggung jawab. “Mungkin ia hanya pingsan,” katanya; “Kita harus mengangkatnya… Tunggu sebentar.” Dia mengambil gelas yang setengah-penuh dari meja dan membungkuk di dekat tubuh perempuan itu, sementara yang lain mengelilinginya. Mereka melihat dia menyusupkan tangan ke belakang punggung perempuan itu, lalu mengangkat dan mengguncang-guncangkannya, dan menuang sedikit anggur di antara bibirnya. Tapi kepala perempuan itu terayun kesana kemari, dan lengannya tergantung lunglai dari bahunya. Micheli membaringkannya kembali dan mendekatkan telinga ke dada perempuan itu. Setelah beberapa saat, dia tegak kembali. “Aku pikir ia memang sudah mati,” katanya.

     Senyap seketika. “Demi Tuhan, tutupi dia!” seru Lucini tiba-tiba, tak berani menatap tubuh itu.

     “Kerjakan sendiri!”

     Senyap kembali. Dari lantai bawah, suara musik terdengar jelas; tapi sekarang lebih lembut, pasti mereka sedang memainkan tango. Kelima lelaki itu saling menatap. Di antara mereka, hanya Ripandelli yang duduk. Dia menatap lurus ke depan, pundaknya membungkuk, tangannya memegang kepala, dia dapat melihat celana panjang teman-temannya membentuk lingkaran mengelilinginya, tapi mereka tak cukup berdekatan, jadi mustahil untuk tidak melihat, melalui celah-celah di antara mereka, mayat yang terbaring dekat pintu bercat putih itu.  

     “Perbuatan gila,” ucap Mastrogiovanni seperti sedang menolak suatu gagasan yang konyol, sambil menatap Ripandelli; “Dengan botol!… Apa yang kaupikirkan tadi?”

     “Aku tidak terlibat dengan semua ini,” ucap seseorang dengan suara bergetar. Ripandelli, tanpa bergerak, tahu itu suara Lucini. “Kalian semua saksinya, aku cuma duduk dekat jendela.”

     Adalah Jancovich, yang paling tua di antara mereka, dengan wajah murung dan suara datar, yang menjawab, “Ya, ya,” katanya; “Lupakan itu, Nak, soal siapa yang terlibat siapa yang tidak…. Di tengah-tengah percakapan menarik ini, seseorang akan masuk dan kita harus menyelesaikan perdebatan kita di tempat lain.”

     “Yah, bagaimana pun juga, kita akan pergi ke tempat itu,” kata Ripandelli muram.

     Jancovich menyahut dengan marah sekaligus mengejek. “Bocah ini sudah gila,” katanya.   “Hanya karena dia bersedia masuk penjara, dia mau kita semua masuk penjara juga.” Untuk sesaat, mukanya yang ceking berkerut-kerut karena tertawa. “Sekarang dengar apa yang akan aku katakan.”

     “???”

     “Saat ini… ’Si Tuan Putri’ tinggal sendirian, bukan? Jadi dibutuhkan waktu sekitar seminggu atau lebih untuk menyadari bahwa ia menghilang…. Sekarang turunlah dan ikut berdansa, dan berlakulah seolah-olah tak terjadi apa-apa. Saat pesta berakhir, kita pindahkan ia ke mobilku, lalu kita bawa ke suatu tempat, di luar kota… atau kita bisa membuangnya ke sungai. Maka akan ada pikiran bahwa ia bunuh diri. Ia hidup sendirian… dalam keadaan depresi… kejadian seperti itu biasa terjadi. Jika ada yang bertanya ke mana ia pergi, kita akan bilang ia meninggalkan ruangan di tengah-tengah acara dan tidak kelihatan lagi. Sepakat?”

     Yang lain pucat parasnya karena takut. Perempuan itu mati – seperti yang mereka lihat; tapi gagasan bahwa mereka telah melakukan kejahatan, telah membunuh seseorang, dan akan dinyatakan bersalah, tidak ada dalam pikiran mereka. Mereka merasa hanya membantu Ripandelli untuk bersenang-senang, bukan untuk membunuh. Gagasan untuk membuang mayat itu ke sungai membawa mereka berhadapan dengan kenyataan. Lucini, Micheli, dan Mastrogiovanni menolak, menyatakan bahwa mereka tidak terlibat sama sekali, bahwa mereka tidak mengharapkan semua ini terjadi, bahwa Ripandelli bagaimanapun caranya harus membela dirinya sendiri.

     “Baiklah,” jawab Jancovich, yang telah menghitung kemungkinan hukum dari posisi mereka, “itu artinya kita akan bertemu lagi di pengadilan: Ripandelli akan divonis bersalah karena membunuh, tapi kita semua paling tidak akan mendapat beberapa tahun hukuman penjara karena ikut terlibat dalam tindak kriminal ini.” Mereka semua terdiam, dalam kecemasan. Lucini, yang paling muda di antara mereka, pucat pasi, dan bercucuran air matanya. Tiba-tiba ia mengacungkan tangannya ke udara. “Aku tahu semua akan berakhir seperti ini,” ia meraung; “Aku tahu…. Oh, kalau saja aku tidak datang!”

     Tetapi kata-kata Jancovich sungguh benar. Mereka harus memutuskan: seseorang bisa masuk ke ruangan itu kapan saja. Rencana Jancovich disetujui, lalu sekonyong-konyong, seakan baru sadar bahwa mereka harus segera bertindak, kelima lelaki itu dengan sigap menyingkirkan semua jejak kejahatan mereka. Botol dan gelas-gelas dimasukkan ke dalam lemari terkunci; mayat itu diseret, dengan susah payah, ke pojok ruangan, lalu ditutup dengan handuk besar; ada cermin kecil di dinding, dan masing-masing mereka memeriksa apakah tubuh mereka sudah bersih dan rapi. Lantas, satu persatu, mereka meninggalkan ruangan; lampu dimatikan, pintu dikunci dan kuncinya dibawa oleh Jancovich.

     Saat itu, pesta sedang meriah-meriahnya. Ruangan penuh sesak, sekelompok orang duduk mengelilingi dinding; yang lain duduk di kusen jendela; di tengah-tengah ruangan, kerumunan orang yang berdansa berputar-putar ke sana kemari; ribuan konfeti melayang dari berbagai arah dan orang-orang bermain lempar-lemparan dengan bola kapas berwarna-warni; dari setiap sudut terdengar bunyi melengking dari peluit mainan dan terompet karton; balon-balon berbagai warna bergoyang di antara pita-pita kertas yang digantung, dan sesekali balon-balon itu akan meletus ketika pasangan-pasangan yang berdansa memperebutkannya, berjuang untuk mendapatkan balon-balon itu dan berkerumun di sekitar siapa saja yang berusaha sekuat tenaga mempertahankan balonnya. Gelak tawa, suara dan bunyi-bunyi lain, warna-warna, aneka bentuk, kabut biru dari asap tembakau – semua ini disaksikan oleh kelima lelaki murung yang sedang bersandar di balkon sambil melihat ke bawah, ke pusat cahaya, seakan ingin menyatu dengan suasana gemilang yang rasanya tak terjangkau itu, suasana yang membuat mereka membayangkan surga, tempat mereka bebas dari tanggung jawab dan bisa berlaku semaunya, hal yang bagi kelima lelaki itu sudah hilang, hilang selamanya. Apa pun upaya yang mereka lakukan, pikiran mereka membawa mereka kembali menengok ke belakang, masuk ke ruang sempit penuh loker itu, dengan gelas-gelas anggur di meja, kursi yang berantakan, jendela tertutup, dan di lantai, di salah satu sudut, mayat itu. Namun pada akhirnya mereka berhasil menenangkan diri, mengendalikan emosi, dan mulai menuruni tangga.

     ”Sekarang aku minta pada kalian,” kata Jancovich, sebagai ucapan terakhir, “berpura-puralah, berdansalah, nikmati suasana, seolah tidak terjadi apa-apa.” Lalu, dimulai oleh Mastrogiovanni, kelimanya turun dan menyatu dengan kerumunan, sekarang mereka tak bisa dibedakan dari para lelaki lain, yang seperti mereka sama-sama berpakaian hitam, memeluk pasangannya masing-masing, di depan panggung tempat band memainkan musik dalam irama dansa yang lambat.***                             

Alberto Moravia [1907-1990] adalah pengarang terkemuka Italia. Novel-novelnya banyak mengeksplorasi seksualitas, alienasi sosial, eksistensialisme, dan antifasisme. Ia mendapat sejumlah penghargaan, antara lain Strega Prize (1952) dan Premio Mondello (1982). Cerpen di atas diterjemahkan dari versi Inggris, Crime at the Tennis Club, yang dikerjakan oleh Angus Davidson, dan diambil dari buku The Wayward Wife and other stories,  Ace Books, Inc, NY, 1960 hal. 7-19.

Kiki Sulistyo, sastrawan, mukim di Mataram, NTB.

Pasky Nurguna, penerjemah lepas, mukim di Jakarta.  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *