CandikataEsaiRupaSeni

CelebrA(R)Tion Moments: Galeri Zen1 di AMJO 2021

Pandemi COVID-19 telah setahun lebih melanda dunia. Situasi pandemi mengubah wajah dunia seni rupa global secara dramatis. Art world mengalami lockdown. Museum dan galeri menutup pintu untuk pengunjung. Pameran, art fair, dan lelang dibatalkan atau ditunda. Tidak ada lagi kerumunan pecinta seni yang berdesakan memenuhi ruang-ruang presentasi karya seni rupa.

Galeri Zen1 lahir pada 7 Maret 2020, tidak lama sebelum pandemi COVID-19 dinyatakan resmi masuk ke Indonesia. Galeri ini didirikan oleh Nicolaus Fransiskus Kuswanto. Pria dengan panggilan akrab Nico ini sudah lebih dari satu dasawarsa berkecimpung di dunia seni rupa. Pengalamannya terentang panjang, mulai dari menjadi pengelola galeri, art dealer, manajer seniman, hingga penyelenggara program pameran seni rupa di berbagai kota di Indonesia.

Lebih dari pengalaman, bekal terbesar Nico adalah passion terhadap seni rupa. Passion yang begitu besar itulah yang membuat Nico tidak gentar menghadapi serbuan pandemi. Ketika situasi pandemi memaksa banyak galeri dan penyelenggara acara di mana-mana untuk menunda, membatalkan atau meniadakan programnya, Galeri Zen1 justru sibuk menggelar pameran. Selama setahun pandemi, jadwal pameran Galeri Zen1 begitu padat.

Ruang Galeri Zen1 di Kuta telah menaungi pameran “The Divine Step” oleh 19 perupa, “Terbahak Kritis-Estetis ala Teja Astawa” oleh Ketut Teja Astawa, “Mirror Symphony” oleh Wolfgang Widmoser, “Into the Secret of Cosmic Energy” oleh Wayan Apel Hendrawan, dan “Obart” oleh perupa Cina, Sun Rong Fang. Pameran “Buta Kala Plastik Poleng” oleh Made Bayak digelar di ruang Galeri Zen1 kedua di Kesiman. Galeri Zen1 juga mengadakan seri pameran di mal Seminyak Village: “1st[ART]”, “Getting Closer”, “Art4Every1”, dan “7mira[rt]cle”.           

Dengan kata lain: hampir setiap bulan Galeri Zen1 mengadakan pameran!

Semangat besar untuk menggairahkan dunia seni rupa yang lesu di tengah pandemi melatarbelakangi partisipasi Galeri Zen1 dalam Art Moments Jakarta Online (AMJO) 2021. AMJO adalah art fair online (disertai beberapa pameran offline) yang melibatkan puluhan peserta dari Indonesia dan luar negeri. Galeri Zen1 merupakan satu-satunya peserta AMJO yang menggunakan tiga booth untuk menampilkan karya seni rupa. Booth “Galeri Zen1 (1)” menyajikan pameran tunggal Made Wianta. Booth “Galeri Zen1 (2)” mengetengahkan pameran tunggal Wayan Apel Hendrawan. Booth “Galeri Zen1 (3)” memamerkan karya 11 perupa. 

Tiga pameran Galeri Zen1 di AMJO 2021 juga digelar secara offline di Jakarta dan Bali. Pameran tunggal Made Wianta di D Gallerie, Jakarta. Pameran tunggal Wayan Apel Hendrawan di Galeri Zen1 Kesiman, Bali. Pameran bersama 11 perupa di Galeri Zen1 Kuta, Bali.     

zen1-amjo

Keikutsertaan di AMJO menunjukkan antusiasme Galeri Zen1 dalam menyambut perubahan situasi dunia seni rupa setelah dihantam badai pandemi. Krisis COVID-19 memaksakan pembatasan sosial yang mengurangi secara drastis kesempatan presentasi karya seni rupa di hadapan publik secara fisik, beserta transaksi jual-beli karya yang menyertainya. Industri seni rupa merespons dengan beralih ke jalur online. Pameran virtual dan pemasaran karya seni secara online semakin menjadi pilihan. Prospek perdagangan online karya seni juga terlihat cerah. “Hiscox Online Art Trade Report 2020”, misalnya, mencatat tren kenaikan signifikan dalam penjualan benda seni secara online. Inisiatif online di dunia seni rupa semakin banyak, dan diperkirakan akan mengubah panorama pasar seni rupa secara mendalam.              

Booth “Galeri Zen1 (3)” di AMJO mempersembahkan pameran bertajuk “CelebrA(R)Tion Moments”. Pameran ini menampilkan karya terpilih para perupa yang berbasis di Bali dan berasal dari berbagai generasi – mulai dari perupa kondang Made Wianta hingga Satya Cipta.

Karya-karya dalam pameran ini memperlihatkan keragaman tema maupun gaya. Terdapat berbagai kecenderungan dan karakteristik. Para perupa mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan wahana artistik masing-masing. Mereka menjelajahi imajinasi kreatif dengan berbagai modus ekspresi, mulai dari seni lukis bercorak realis hingga abstrak.

Meskipun beragam, kreativitas mereka pada dasarnya digerakkan oleh tanggapan dan sikap terhadap situasi sosial dan budaya yang mereka lihat dan hadapi. Proses kreatif mereka melibatkan pergulatan kompleks antara faktor internal dan eksternal, rangsang objektif dan subjektif. Hasilnya adalah kreasi seni yang mencerminkan intuisi pribadi perupa dan latar sosial-budaya mereka.

Berikut ini adalah perupa yang karyanya mengisi pameran “CelebrA(R)Tion Moments”:

Made Wianta dilahirkan di Apuan, Tabanan, Bali, pada 20 Desember 1949. Ia beroleh pendidikan seni rupa dari Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia “ASRI” di Yogyakarta. Karyanya ditampilkan dalam banyak pameran di dalam dan luar negeri, antara lain di Venice Biennale 2003. Selain lukisan, Wianta menghasilkan karya seni instalasi, performance art, dan puisi. Gerak kreatif Wianta didorong oleh obsesi dan pencarian terhadap suatu dasar yang melandasi realitas. Berbagai macam karya Wianta merupakan metafora dari kepingan realitas yang disusun, dibongkar, disusun ulang, dan dibongkar ulang olehnya demi menggapai suatu cetak biru realitas. Secara khusus, lukisan Wianta membentangkan panorama imajinasi abstrak yang terukur dan terkendali. Keseimbangan antara kontrol dan emosi adalah prinsip yang selalu dipegang Wianta dalam melukis. “Untuk mengekspresikan diriku, aku memakai dua sistem. Begitu emosi muncul, kontrol menyusul. Begitu timbul kontrol, emosi terasa. Orang yang mau memahamiku harus melihatku dari dua sisi itu,” kata Wianta. Wianta meninggal pada 2020.                

wianta
Made Wianta, “New Growing”, 1995

Wolfgang Widmoser dilahirkan di Munich, Jerman, pada 1954. Pada masa mudanya, ia belajar teknik lukis Renaissance dari raksasa Surrealisme, Salvador Dali, dan master pendiri Vienna School of Fantastic Realism, Ernst Fuchs. Sejak tahun 1970-an, ia telah memamerkan karyanya di berbagai kota besar di Eropa, Amerika, Asia, dan Australia. Wolfgang sudah puluhan tahun tinggal di Bali. Dalam lukisannya, ia mengungkapkan visinya yang unik tentang keanggunan, keindahan, dan kebenaran yang melampaui realitas alami. Karyanya menawarkan tamasya keluar dari sisi realitas yang terbatas dan sementara, untuk sekilas menjenguk sisi lain realitas yang tak terbatas dan abadi. Seni lukisnya menguakkan dimensi lain realitas yang tersembunyi.

Wolfgang Widmoser, “Dancer”, 2019

I Wayan Sujana Suklu dilahirkan di Klungkung, Bali, pada 6 Februari 1967. Pendidikan seni rupa diperolehnya dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (sekarang Institut Seni Indonesia) Denpasar dan Institut Teknologi Bandung. Suklu menjadi pengajar seni rupa di Institut Seni Indonesia Denpasar sejak 1997. Sebagai perupa, ia menghasilkan lukisan dan karya instalasi. Suklu aktif berpameran di dalam dan luar negeri. Sejumlah karyanya beroleh penghargaan, antara lain dari Philip Morris Indonesia/ASEAN Art Awards 2003, Indofood Art Awards 2003, CP Open Biennale Jakarta 2003, dan Beijing Biennale 2008. Karya-karya Suklu bernada puitis dan filosofis, memadukan craftsmanship dan pemikiran. Dalam karya “Measuring Wind Motion”, Suklu menawarkan pembacaan kreatif terhadap gerak angin. Citra jantra, daun, dan bulu burung dikonstruksinya sebagai kode yang mewakili gagasan tentang menangkap angin.

suklu
I Wayan Sujana Suklu, “Measuring Wind Motion”, 2019

Ketut Teja Astawa dilahirkan di Sanur, Bali, pada 1 Maret 1971. Ia mendapatkan pendidikan seni rupa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (sekarang Institut Seni Indonesia) Denpasar. Sejak 1991, ia aktif menampilkan karya dalam berbagai pameran di Indonesia dan mancanegara, termasuk di Australia, Swiss, Belanda, Cina, Korea, dan Singapura. Karyanya meraih penghargaan Philip Morris Art Awards 2001, dan dikoleksi Museum Der Weltkulturen Am Schamainkai di Frankfurt, Jerman, dan Museum Jeju di Jeju, Korea Selatan. Sensibilitas kreatif Teja berakar pada budaya dan kolektivitas di pulau kelahirannya. Teja menggali dan menafsirkan kembali spirit dan warisan budaya Bali untuk mengungkapkan refleksi pribadinya tentang dunia kontemporer. Lukisan Teja menampakkan pengaruh wayang, seni lukis tradisional Bali gaya Kamasan, dan kartun. Teja meramu cita rasa tradisional dan modern menjadi bahasa visual unik yang menyodorkan diagnosis realitas secara kritis, namun jenaka.

teja
Ketut Teja Astawa, “Confusing Area”, 2020

I Nyoman Sujana Kenyem dilahirkan di Sayan, Ubud, Bali, pada 9 September 1972. Ia menyelesaikan pendidikan seni rupa di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (sekarang Institut Seni Indonesia) Denpasar. Sejak 1992, Kenyem aktif menyiarkan karyanya dalam pameran di berbagai kota di Indonesia dan mancanegara, termasuk di Swedia, Cina, Singapura, dan Malaysia. Karya Kenyem menggemakan kesadaran ekologis yang mendalam. Lukisannya menampilkan suatu dunia yang tercipta dari jaringan kompleks bentuk, garis, dan warna. Itulah dunia tempat segalanya saling bertautan dan saling bergantung secara mendasar. Melalui karya-karyanya, Kenyem mengakui kesalingbergantungan fundamental semua fenomena. Lukisannya merayakan kenyataan bahwa manusia melekat erat pada proses siklus alam.

kenyem
I Nyoman Sujana Kenyem, “Water Spring”, 2021

Made Mahendra Mangku dilahirkan pada 30 Desember 1972 di Sukawati, Gianyar, Bali. Ia lulus dari Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, pada 1997. Sejak 1992, ia aktif mengikuti berbagai pameran seni rupa di Indonesia maupun luar negeri. Karyanya meraih penghargaan Indonesian Art Awards 1996, 1997, dan 1998. Lukisan Mangku berangkat dari kegelisahan kreatif dalam mencari bentuk visual konkret dari konsepsi abstrak. Penghayatan atas berbagai wacana pemikiran maupun suasana batin adalah sumber inspirasi yang banyak memunculkan rangsangan dan dorongan berkarya pada Mangku.

mangku
Made Mahendra Mangku, “Mencari Tangkai”, 2020

I Wayan Suja dilahirkan di Batubulan, Gianyar, Bali, pada 8 Desember 1975. Ia menyelesaikan pendidikan seni rupa di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (sekarang Institut Seni Indonesia) Denpasar. Karya-karyanya dipamerkan dalam berbagai perhelatan seni rupa di Indonesia dan mancanegara, antara lain di Singapura, Hongkong, dan Cina. Sejumlah penghargaan seni rupa diperolehnya, antara lain dari STSI, Philip Morris Indonesia Art Awards VII 2000, dan Sovereign Asian Art Prize Hong Kong 2005. Karya-karya Suja banyak menyoroti makna identitas Bali di tengah realitas Bali kontemporer yang terjerat dalam jaringan kapitalisme global. Citra figur orang Bali di balik tabir plastik transparan dalam banyak lukisannya mewakili kritik Suja terhadap dampak perubahan yang melanda Bali. Citra plastik merupakan simbol dari serbuan budaya konsumerisme yang mengubah sikap, perilaku, aspirasi, gaya hidup, dan pola hidup masyarakat Bali.

suja
I Wayan Suja, “Citra Bali dalam Lapisan Ilusi #2”, 2017

Ni Nyoman Sani dilahirkan pada 10 Agustus 1975 di Sanur, Bali. Ia meraih gelar sarjana seni rupa pada 2001 dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (sekarang Institut Seni Indonesia) Denpasar. Sejak 1995, ia telah mengikuti berbagai pameran seni rupa di dalam dan luar negeri. Pameran tunggalnya antara lain digelar di Bali, Jakarta, dan Singapura. Sani memiliki minat kuat terhadap fashion. Dalam karya-karyanya, ia banyak menjelajahi persoalan representasi perempuan dalam budaya populer kosmopolitan. Banyak lukisannya menampilkan citra perempuan urban kontemporer yang feminin, modis, dan glamor. Dalam pameran di AMJO, Sani menampilkan sepasang lukisan berjudul “The Look #4”. Karya tersebut berbicara tentang cara pandang terhadap keindahan dan kebiasaan yang dibingkai oleh maskulinitas dan feminitas.

sani
Ni Nyoman Sani, “The Look #4”, 2021

Ida Bagus Putu Purwa dilahirkan di Sanur, Bali, pada 31 Oktober 1976. Pendidikan seni rupa didapatkannya dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (sekarang Institut Seni Indonesia) Denpasar. Ia banyak menampilkan karya dalam pameran di berbagai kota di Indonesia dan luar negeri sejak 1996, antara lain di Australia, Irlandia, Belanda, Jerman, Jepang, Korea, Cina, Thailand, Singapura, dan Malaysia. Fase mutakhir perjalanan kreatif Purwa ditandai dengan karya-karya yang menggemakan eksplorasi terhadap cara kerja ingatan yang kompleks dalam memaknai realitas. Ada dua karya Purwa yang ditampilkan di AMJO. Dengan simbol perahu layar mengarungi keganasan samudra, lukisan “Last Defense” menyuarakan semangat untuk bertahan di tengah kesulitan hidup pada masa pandemi. Dalam lukisan lain, “Last Black God Black Goat”, Purwa mengingatkan pentingnya introspeksi diri pada masa sulit.

purwa
Ida Bagus Putu Purwa, “Last Black God Black Goat”, 2020

Made Bayak dilahirkan Tampaksiring, Bali, pada 1980. Ia menempuh pendidikan seni rupa di Institut Seni Indonesia Denpasar. Spektrum kesenian Bayak meliputi seni lukis, instalasi, performance art, aktivisme, dan musik. Karyanya meraih sejumlah penghargaan, antara lain Sovereign Art Prize Espace Louis Vuitton Singapore 2013, Bazaar Art Awards 2010, dan Nokia Art Awards 2000 dan 2001. Sejumlah museum mengoleksi karyanya, antara lain Tropen Museum Amsterdam dan Volkenkunde National Museum Leiden di Belanda, Fondazione PLART Museo Napoli di Italia, Project11 Foundation Melbourne di Australia, Verein fur Indonesisch-Deutscher Kulturaustausch Foundation Hamburg di Jerman, dan University of Georgia di Amerika Serikat. Bayak aktif berpameran di dalam dan luar negeri, antara lain di Amerika Serikat, Polandia, Jerman, Belanda, Italia, Australia, dan Singapura. Karya-karyanya mengusung kritisisme tentang berbagai fenomena sosial dan budaya. Bayak terutama kritis terhadap citra romantis-eksotis Bali yang dieksploitasi oleh industri pariwisata sejak zaman kolonial. Sejak sepuluh tahun silam, Bayak juga mengembangkan proyek seni ekologis “Plasticology” berupa karya seni rupa berbahan sampah plastik.               

bayak
Made Bayak, “Ni Luh Marilyn and I Wayan Charlie Chaplin as Culture Influencers”, 2020

Satya Cipta dilahirkan pada 1988. Ia lulus dari Jurusan Seni Teater, Institut Kesenian Jakarta. Kemampuan melukisnya diperoleh dari belajar secara otodidak, mempelajari seni lukis tradisional Bali gaya Batuan, dan berguru pada pelukis ternama Bali, Ketut Budiana. Ia pernah berpartisipasi dalam sejumlah pameran seni rupa di Bali dan Singapura. Pameran tunggalnya, “A Budding Talent”, digelar di Museum Puri Lukisan, Ubud, pada 2018. Satya menggunakan teknik seni lukis tradisional Bali untuk menjelajahi dunia batin perempuan yang kerap menyimpan luka dan gejolak. Bertumpu pada kekuatan garis yang bergerak luwes tapi bertenaga, karya Satya memadukan alam pikiran tradisional Bali yang bergelimang mistik dan mitos dengan wawasan feminisme modern kritis seputar gender dan seksualitas.

satya
Satya Cipta, “Evaporated Feeling”, 2020

Pameran “CelebrA(R)Tion Moments” menunjukkan bahwa perupa kontemporer memiliki pilihan tak terbatas untuk memanfaatkan beragam sumber kreasi artistik. Perkembangan seni rupa pada abad ke-21 merangkul semua akar muasal dan melampaui batas apa pun. Kini soalnya tinggal bagaimana perupa menentukan posisinya di tengah lautan karya seni rupa dunia yang tak bertepi.

celebrartion-moments
Dari kiri ke kanan: Ketut Teja Astawa, Wayan Suja, Nyoman Sujana Kenyem, Satya Cipta, Ni Nyoman Sani, Made Bayak, Arif Bagus Prasetyo, I.B. Putu Purwa.

ARIF BAGUS PRASETYO

Penulis, penerjemah, dan kurator seni rupa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *