Catatan Biru
Puisi RAHMI RAHMAYATI
PULANG Pulang ke tanah kelahiranku adalah pulang mengunjungimu mengunjungi kenangan tentang ritual pagi yang sakral: membaui tanah dan bunga melati, mendengarkan merdunya lagu gemericik embun pagi yang begitu tulus menjatuhkan dirinya di atas dedaunan yang begitu hijau dan di atas tanah-tanah gembur Pulang ke tanah kelahiranku adalah pulang ke taman-taman halaman rumah kita yang terbentang luas seluas asa dan mimpi-mimpi kita terdahulu: asa dan mimpi tentang rumah di antara tanah-tanah dan bunga yang merekah, juga tentang pagi yang masih basah, tatapan di antara rerimbun pohon yang rebah dan senja yang memerah, semerah pipimu yang rekah Pulang ke tanah kelahiranku adalah pulang menuju matamu yang bercahaya yang mengisahkan pertemuannya dengan sepasang mata yang mungkin kini telah buta karenamu dan tiada lagi mata lain yang mampu membuatnya terbuka dan berbunga-bunga Pulang ke tanah kelahiranku adalah pulang menuju hatimu yang mungkin kini telah beku: dibekukan mesin waktu dan musim-musim yang tlah berlalu: musim-musim di mana kudengar detak jantungmu yang menggebu dan mengharu biru Pulang ke tanah kelahiranku adalah pulang menuju ketiadaan yang slalu ada keputus-asaan yang slalu penuh asa, kehilanganmu yang slalu kutemukan, kepergianmu yang slalu datang, dan kefanaan yang slalu abadi Pulang ke tanah kelahiranku adalah pulang tersesat karena kehilanganmu dan waktu yang sudah tiada lagi untukku Kini, Kemanakah aku harus pulang? untuk menemukanmu dan menemuimu? Surabaya, 5 Oktober 2018, 23.50 WIB MATA Ada mata yang menembus di antara kegelapan malam meneduhkan dan memberi cahaya pada luka yang menghitam Menumbuhkan akar yang rapuh, pohon yang ranggas, buah yang hambar, dan dedaunan yang berguguran Mengganti musim yang hampir berakhir di antara pelangi yang mengukir cakrawala yang getir Sementara malam perlahan merambat di antara waktu yang tersendat-sendat menyisakan memori yang tercatat pada malam-malam pekat Tiba-tiba Kau mengetuk asa yang terkunci dalam almari besi yang diam-diam kutangisi Kalaulah mata itu t’lah menghunus hati yang tandus dan perlahan jejak-jejak luka terhapus maka biarkan hati ini menjadi kudus dan tak’kan pernah pupus Dan kalaulah Kau bukan mata itu maka biarkan aku menjadi buta Surabaya, 3 Mei 2017, 00.45 DESEMBER – JANUARI Di sini kita memulai Di sini kita mengakhiri seperti halnya Januari dan Desember memulai dan membangun sebuah mimpi masa depan Lalu mengakhirinya Kita memang tidak pernah menemukan titik temu karna kita sama-sama berada pada jarak, ruang, dan waktu yang berbeda Meskipun tampak berdekatan Tapi, sebenarnya kita begitu jauh Meskipun kita tampak seperti sebuah putaran Tapi, kita berada pada putaran yang berbeda: kau menatap dan menemukan masa depan sedang aku menatap dan menemukan kembali masa lalu kau mengikuti putaran waktu sedang aku berhenti pada satu waktu Kalaupun ada Januari yang baru: "Itu bukan aku". Jambangan, 12 Januari 2020, 17.36 CATATAN BIRU Biarlah kubaca dan kutulis tentangmu untuk terakhir kalinya di catatan biru ini karna kutahu bahwa tak akan lama lagi tiada kisah tentang kita yang bisa kutulis lagi di sini Mungkin hanya kisahku saja yang akan tetap tinggal di sini sementara kau dan kisahmu pergi begitu jauh melewati hutan-hutan dan pepohonan yang rimbun, lembah-lembah curam, gunung-gunung tinggi, sungai-sungai bening dengan gemericik air dan bebatuan yang penuh lumut dan menguarkan bau purba semuanya menceritakan kepingan-kepingan kisah yang termaktub dalam sebuah catatan biru yang Tuhan titipkan padaku untuk kulukis dengan bianglala di antara cakrawala yang sebermula Jika kau masih ingin mendengar kisah dan cerita dari bebatuan dan gemericik air di antara bau pagi dan matahari maka biarkanlah angin membawamu padaku meski berjumput kalut bertaut meski berjuta cahaya menelan masa aku kan tetap mencatat waktu tentangmu dan mengisahkannya padamu melalui batu-batu yang membeku di antara musim-musim yang kelu Jambangan, Surabaya, 2019 SUATU MALAM PADA 2008 Sepulang kita dari sebuah tempat: tempat yang menyaksikan bagaimana sebuah senyuman dan kebahagiaan mengembang di antara sepasang mata kita Tempat yang begitu setia mendengarkan berbagai cerita, harapan-harapan, dan mimpi-mimpi masa depan yang akan kita bangun bersama: sebuah rumah mungil dengan pekarangan yang luas: ditanami berbagai pohon dan bunga-bunga lalu anak-anak kita berlarian di antara rerumputan dan kita saling bertatapan seperti halnya tatapan pertama ketika mata kita saling menemukan Kita pun tersenyum dan tertawa seakan tidak akan pernah ada luka dan duka Waktu pun bergegas dan kita pun harus meninggalkan sebuah tempat dan kenangan Lalu kita pun berdebat tentang kendaraan yang akan membawa kita pulang dengan berbagai kenangan Kita pun menaiki sebuah kendaraan dan aku dibisiki Tuhan bahwa kau adalah sebuah kado titipan-Nya dan aku harus menjagamu hingga Dia mengambilnya kembali Kendaraan pun berhenti lalu mata kita kembali saling menemukan pintu hati yang telah Tuhan bukakan Jambangan, 12 Januari 2020, 21.12 LELAKI DI ANTARA RERIMBUN POHON Kaulah lelaki pertama di antara rerimbun pohon yang diam-diam membisikkan doa dan mantra-mantra pada akar-akar dan tanah-tanah basah ‘tuk menumbuhkan bunga-bunga bermekaran dan pepohonan yang merambat dan menjulang-julang agar kubisa bersembunyi dan berlindung di bawahnya tanpa pernah bisa berpaling darinya Slalu kau mengintip di antara rerimbun pohon di halaman tetaman rumahku menantiku dengan sepotong kesetiaan berharap menikmati setiap pagi, gerak, dan mataku namun, keangkuhan t’lah merantaiku ‘tuk bisa menghampiri dan menemuimu sampai akhirnya kau lelah dan meniup serta menghembuskan doa-doa dan mantra-mantra hingga semuanya berserakan, melayang, dan berhamburan ke cakrawala dan Tuhan pun t’lah menangkap semua doa dan mantramu lalu mencerabut hatimu yang luka tanpa bersisa Dan kini aku terdampar di antara rerimbun pohon itu menunggu bisikan doa dan mantra-mantra menunggu mata yang mengintip di antara bunga-bunga dan rerimbun pohon menunggu pagi dengan sepotong kesetiaan dan aku masih terbelenggu waktu yang merantaiku bukan lagi karena keangkuhanku, tapi karena melati yang tumbuh hanya untukmu Surabaya – Bandung, 4 Desember 2017, 20.55 SEBUAH FOTO Kutemukan sebuah foto di antara ribuan lainnya berkisah tentang sebuah kenangan pada hari ketika musim berganti, daun bertumbuh, dan bunga bermekaran di antara pekarangan dan tetaman kalbuku hari ketika kutemukan kehilangan hari ketika hitam penuh cahaya hari ketika siang penuh bintang gemintang hari ketika Tuhanmu dan Tuhanku bertemu dalam sebuah kekudusan yang meluruh menjadi utuh hari ketika kutinggalkan semua bayangan di sebuah ruang untuk sebuah nama yang akan slalu kulafazkan dalam setiap doa nama yang akan slalu kusimpan dalam semua kenangan yang terbingkai dalam sebuah gambar Jambangan, 25 Agustus 2019, 20.05 WIB SEBUAH CATATAN Apa yang harus kucatat tentangmu? tentang hari yang teramat sakral? tentang pagi yang beranjak siang? tentang kehilangan lalu kau kutemukan? tentang hitam yang sama kita kenakan? tentang harapan di antara kecemasan? Ataukah tentang matamu yang tertimpa cahaya batu pualam? tentang sesuatu yang terkubur lalu kau bangkitkan? Apa yang harus kulakukan? Ketika Tuhan memberikan sebuah catatan tentangmu yang harus kuisi penuh warna dan lukisan Adakah kau rasakan dan getarkan? Mungkinkah kau seseorang itu? Seseorang di antara rerimbun pohon, wangi melati, dan bening embun pagi? Jambangan, 25 Agustus 2019, 18.53 WIB. DESEMBER Desember adalah pertanda terakhir darimu seperti halnya waktu yang akan menutup setiap perjalanan yang telah kita mulai Haruskah kutafsirkan semua pertanda darimu menjadi serangkaian waktu yang akan membuka perjalanan baru menuju sebuah mimpi nan biru mimpi yang telah dirapalkan dalam doa-doa dan mantra-mantra di antara musim yang berwarna dan puing-puing jiwa yang kini genap utuh meluruh penuh Seperti halnya Desember tiada lagi waktu sesudahnya selain untuk memulainya memulai segala sesuatu tanpa menghitung waktu karna semua mimpi baru t’lah menjadi pandu dan candu pada waktu-waktu sebelum akhirnya kutemukan Desembermu Jambangan, 2019; 23.50 PERTANDA Pertanda apa yang harus kutafsirkan? sedang Tuhan menunjukkan berbagai pertanda padaku Pertanda yang kini menjadi teka-teki yang harus kutelusuri tentangnya, dia, ataukah kau? Mungkinkah engkau pertanda yang Tuhan berikan? sedang engkau berada di puncak gunung dan aku di dasar samudra engkau dedaunan yang akan gugur di senja hari dan aku benih yang akan disemaikan di pagi hari engkau menemukan kehilanganku dan aku kehilangan untuk menemukanmu Mungkinkah dia, Tuhan? Sebuah ataukah serangkaian kisah yang mungkin akhirnya kutemukan setelah aku berjalan jauh, terjatuh, bangkit, lalu berjalan lagi menyusuri putaran yang akan mempertemukanku dengannya? Jambangan, 2019, 21.44 WIB

Rahmi Rahmayati
Lahir di Bandung, saat ini tinggal di Jambangan, Surabaya, serta mengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya. Puisi-puisinya pernah dipublikasikan di surat kabar Pikiran Rakyat, Galamedia, dan beberapa antologi puisi bersama dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unesa yang berjudul Elegi Buat Emak, antologi puisi bersama dosen FBS Unesa yang berjudul Mestinya Kupegang Erat Kedua Tangan Itu, dan antologi puisi dan cerpen bersama Hiski yang berjudul Nyanyian dari Hutan, Pantai, dan Taman Kota.
Ilustrasi: Foto oleh Oscar Keys di Unsplash.