Berjumpa Master Seni Grafis di Ubud | esai AS Kurnia

Nama Devy Ferdianto tak asing bagi kalangan pegrafis Indonesia. Beberapa penghargaan yang diperoleh menegaskan kepiawaiannya di seni grafis. Sertifikat Penghargaan dari Kementerian Pendidikan Indonesia untuk Dedikasi dan Inovasi dalam Litografi/Sertifikat Alugrafi didapatnya pada tahun 2000. Penghargaan lain adalah Sertifikat Kompetensi sebagai penilai kompetensi yang dikeluarkan oleh otoritas sertifikasi profesi Indonesia.

Dikenal intens terlibat dalam berbagai program lokakarya seni grafis, pada tahun 1993 Devy mendirikan studio grafis RedPoint di Bandung. Motivasi yang melandasi ialah membuka kesempatan kepada mahasiswa jurusan seni yang baru lulus juga bagi masyarakat umum yang tertarik pada seni grafis untuk berkesempatan belajar atau melanjutkan berkarya grafis.

Tidak hanya lokakarya, program pameran juga digagas. RedPoint pernah menggelar pameran tunggal Redha Sorana dan Ay Tjoe Christine. Begitu pun pameran kelompok ikut mewarnai kegiatan RedPoint. Selain di studio RedPoint, acara lokakarya dilakukan di luar daerah. Di Jakarta, penyelenggaraannya bekerja sama dengan Galeri Nasional dan Bentara Budaya Jakarta, di Yogyakarta dengan Yayasan Cemeti dan di Bali dengan Popo Danes, Ajip Budiman, dan Made Budhiana.

Salah satu program nasional yang layak dicatat adalah pameran seni cetak grafis tiga kota ‘Bias Sahaja’ pada tahun 1999 yang melibatkan sekitar 40-an pegrafis tanah air dengan sekitar 140-an karya. Pameran digelar serentak di 3 kota pada waktu bersamaan. Di Jakarta, tempat aktivitas di Galeri Nasional, di Bandung di YPK Naripan, dan di Yogya diselenggarakan di Purna Budaya. Sangat disayangkan, RedPoint berakhir di penghujung tahun 2000.

Pendidikan dan Karier

Pekerjaan yang pernah dijalaninya adalah sebagai Head of Printmaking Division di Ganara Art Studio, sebagai Guest Lecturer di Fakultas Seni Rupa IKJ, Vice Rector of Academic Affairs di Sekolah Tinggi Desain Indonesia dan pernah bekerja sebagai Music Director di Departemen Perhubungan.

Lelaki tamatan Fine Art Printmaking ITB dan Sekolah Tinggi Desain Indonesia ini juga menempuh pendidikan di Jurusan Druckgrafik di HBK, Hochschule für Bildende Künste, Brawnschwerg, Germany, dan Jurusan Fine Art Printmaking di Canadian School for Non-toxic Printmaking, Grande Prairie, Canada.

karya-Devy-Ferdianto
Karya grafis Devy Ferdianto

Setelah pensiun dari mengajar di perguruan tinggi, dia hijrah ke Ubud, menghayati petualangan baru bersama seni grafis yang sudah menjadi bagian dari diri dan hidupnya. Pada tahun 2020 kemarin dia bergabung di Black Hand Gang, sebuah studio grafis. BHG didirikan pada awal tahun 2020 dan dibuka untuk umum pada Juni 2020. Di samping ikut andil sebagai pendiri (co founder), dia menjabat Kepala Studio. Kini dia memerdekakan diri dengan bergerak mandiri. Dukungan istri dan anak semata wayang, melengkapi ketenangan desa Ubud dengan kudapan kuliner tradisional.

Devfto Printmaking Institute

Seni grafis memiliki sejarah panjang. Dari seni cetak kuno dengan teknik cukil kayu di Tiongkok berabad-abad lampau hingga ke seni grafis digital sekarang. Sayangnya, seni grafis kurang popular dibanding seni rupa lainnya. Hal ini memicu inisiatif Devy Ferdianto mendirikan Devfto Printmaking Institute, bertempat di Sika Contemporary Gallery, Ubud, Bali. Lembaga ini didirikan pada 6 September 2021 lalu untuk mendukung perkembangan seni grafis di Indonesia, juga sebagai kontribusi bagi kemajuan seni rupa di Indonesia dan Bali khususnya. Devfto Printmaking Institute menawarkan komisi, edisi, program artist-in-residence, penelitian kertas dan seni grafis, lokakarya, dan pameran.

Menanggapi soal kekecewaannya pada pendidikan seni grafis di perguruan tinggi seni rupa, dia menjelaskan: “Printmaking itu banyak tekniknya, bahkan bisa sangat kompleks. Semua itu bisa dipelajari kalau pengampu di perguruan tinggi paham material dan technical knowledge. Umumnya perguruan tinggi seni rupa (PTSR) sangat kekurangan tenaga pendidik yang kompeten dan mengabaikan kebutuhan sarana studio untuk printmaking. Apalagi peralatan dan bahan yang ada tidak layak.”

Menandai berdirinya lembaga grafis, digelar lokakarya dari tanggal 6 sampai 11 September 2021, diikuti kurang lebih 30 partisipan terdiri dari berbagai profesi yang juga sebagai peminat seni grafis hingga seniman profesional seperti Made Djirna, Ida Bagus Putu Purwa, Dodit Artawan, Wayan Suja, Made Palguna dll. Nampak juga beberapa peminat asing terlibat di acara ini. Materi lokakarya meliputi monotype and carborundum, intaglio (soft ground, line etching, carborundum print and sugar aquatint), waterbased screen print, photo-intaglio, monotype – pochoir/stencil art, lithography on aluminium plate. Lokakarya dibimbing langsung oleh sang master grafis Devy Ferdianto, seorang master printer dan seniman dengan pengalaman lebih dari 30 tahun. Dalam menjalankan lembaganya, ia didukung beberapa seniman muda berbakat.

lokakarya
Lokakarya grafis bersama para perupa

Dadaisme, Surealisme dan Jazz

Sejak kuliah, Devy sudah tertarik dengan Dadaisme dan Surealisme. Salah satu ikon yang menarik perhatiannya adalah pelukis Rene Magritte. Pada lukisannya yang masyhur, “The Treachery of Images” (La trahison des images), Magritte menuliskan “Ceci n’est pas une pipe” (ini bukan pipa) di bawah gambar pipa di lukisan tersebut yang terkesan kontradiksi namun logis; lukisan itu bukan pipa, itu adalah gambar pipa.

Pada pameran tunggalnya belum lama ini, Devy membuat karya “Homage to Magritte”; data edisi seperti nomor, judul dan tahun pembuatan karya sengaja ditulis terbalik 180 derajat untuk mengenang Magritte yang kerap membalik fakta dan mempermainkan subject matter. Lukisan yang terdiri dari 3 panil dengan sosok Magritte ini menyoal kabar yang tidak jelas kebenarannya yang menjejali ruang-ruang informasi dan komunikasi. Sebagai pegrafis dengan segudang pengetahuan bahan dan teknik, karya-karyanya memperlihatkan proses perpindahan dari satu teknik ke teknik yang lain. Dari bahan satu ke bahan lainnya bahkan penggabungan teknik kerap dilakukan, semisal teknik screen print dipadu dengan cyanotype atau dengan carborundum.

Tak hanya seni grafis yang menarik jiwa seniman kelahiran Sukabumi, 1968 lalu. Penyuka grup musik Count Basie Orchestra dan lagu “Travelin’ Light” dari Diane Schuur ini juga terlibat serius di seni musik. Dia salah satu pendiri Salamander Big Band yang didirikan pada tanggal 17 September 2006 di Bandung atas prakarsa sekelompok musisi muda Bandung sebagai wadah pengembangan dan apresiasi musik jazz dalam format ensemble. Grup ini sudah banyak berpartisipasi di ajang festival seperti Java Jazz Festival 2008, Jakarta./ Salamander Big Band Concert 2008, Schouwburg Festival, GKJ, Jakarta./ JakJazz 2008, Jakarta./ Java Jazz Festival 2009, Jakarta./ Java Jazz Festival 2015, Jakarta. Di grup musik ini, master yang menguasai alat musik trumpet tersebut didaulat sebagai Conductor dan Band Director. Pada hari Sabtu, 30 Oktober 2021, Salamander Big Band akan unjuk gigi di stage Ubud Village Jazz Festival 2021 yang berlangsung di Museum ARMA, Ubud.

“Travelin’ Light” mengalun lembut. Warna biru indigo, magenta, orange dan green light meresap ke pori-pori screen, lembut, menerakan memori pada kertas cotton.

Some lucky night

He may come back again

So until then

I’m trav’lin’ light

Bedulu, 17-9-2021

as-kurnia

AS KURNIA adalah penulis dan perupa, tinggal di Ubud.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *