PertunjukanSeni

BEE DANCES: Kolaborasi Tari Bali-Berlin

Adhika Annissa (Ninus), koreografer Indonesia yang berbasis di Bali, berkolaborasi dengan koreografer Kareth Schaffer yang berbasis di Berlin, Jerman. Kedua seniman ini sangat dipengaruhi oleh teknik tari Eropa kontemporer dan juga tari tradisional Indonesia. Hasil kolaborasi mereka adalah proyek seni pertunjukan tari “Bee Dances”.

“Bee Dances” diproduksi pada awal Januari tahun ini di tengah ketatnya situasi lockdown dan musim dingin di kota Berlin. Inilah hasil residensi singkat dari enam penari – tiga penari dari Bali dan tiga penari dari Berlin.

“Bee Dances” terdiri dari empat bagian: lecture performance, duet dari perbendaharaan klasik Bali, dan dua karya kelompok baru. Semua bagian pertunjukan mengacu pada tarian goyangan lebah madu (waggle dance) — pertama kali dijelaskan dengan tepat oleh Karl von Frisch pada tahun 1945 — sebagai titik tolak mereka. Lebah madu, penyerbuk yang terancam punah dan serangga yang sangat sosial, merupakan motif utama.

“Bee Dances” adalah penelitian yang cermat tentang bagaimana berbagai teknik tarian ditorehkan dalam tubuh para penari, dan bagaimana pertukaran budaya dapat dilakukan pada masa pascakolonial. Karya ini tidak mengelak dari pertanyaan tentang perampasan budaya, reparasi kolonial, dan visibilitas, tetapi mempertemukannya lewat tarian yang kuat, empati, dan selera humor.

Memetakan keterhubungan antara tari kontemporer sebagaimana yang sering dipentaskan di Berlin dengan teknik tarian tradisional Indonesia, “Bee Dances” menelusuri keterkaitannya melalui serangkaian intervensi, wawancara, rekonstruksi, dan bentuk koreografi baru.

Titik Berangkat

Pada tahun 1952, I Mario membuat koreografi untuk duet “Oleg Tamulilingan”, duet pertama tari Bali yang menampilkan seorang pria dan seorang wanita menari bersama di atas panggung. “Oleg Tamulilingan” mendapat pujian besar pada tur dunia Amerika Serikat/Eropa pada 1954, dan hari ini masih menjadi salah satu karya favorit di Pulau Bali.

“Tamulilingan” — berarti “lebah madu” dalam bahasa Bali — memperlihatkan dua lebah terbang melintasi taman, menyerbuki bunga, dan akhirnya menemukan satu sama lain. Ayunan pinggul lebah madu betina yang dramatis, yang sering menari dengan pola angka delapan di atas panggung, sangat mengingatkan pada “tarian waggle” lebah madu asli. Tarian waggle ditarikan dalam sarang untuk mengomunikasikan arah dan ukuran sumber makanan yang memungkinkan.

“Oleg Tamulilingan”, tarian waggle, dan lebah adalah metafora untuk usaha mengembangkan karya tari transkultural: bagaimana tarian, gerak, dan tubuh dapat digunakan untuk saling menyerbuki.

Penyerbukan Timbal Balik

Pada era pascakolonial, transfer informasi dan pengetahuan global dari Selatan ke Utara masih tidak seimbang. Sulit menemukan penari Bali yang tidak menyadari keberadaan balet. Penari Indonesia masih pergi ke Eropa untuk belajar menari di sana; tetapi seberapa sering penari bergerak ke arah sebaliknya?

Perkembangan karya tari transkultural harus secara kritis memeriksa ciri-ciri imperialis dan kolonialis pada masa lalu dan sekarang, dan menjawab pertanyaan rumit dengan kebijaksanaan, perhatian, dan sumber daya. Tanggung jawab apa yang dimiliki orang yang tinggal di Barat untuk mempelajari teknik fisik dari seluruh dunia? Teknik apa yang masih terancam oleh imperialisme nenek moyang mereka? Apa yang perlu diketahui dan dialami oleh penari di Bali untuk melestarikan dan memperluas bentuk seni mereka? Menyentuh soal perampasan budaya, reparasi kolonial, dan visibilitas, pertanyaan-pertanyaan ini tidak dapat dihindari.

“Bee Dances” memahami dirinya sebagai platform yang memungkinkan pertukaran antarseniman dalam dua sumbu yang berbeda: kontemporer dan tradisional, Eropa dan Indonesia. Salah satu tujuan pertukaran tersebut adalah bahwa penari Indonesia dan Eropa memiliki kesempatan dalam proyek untuk menangani teknik, konteks, dan parameter yang berbeda. Itulah sebabnya produksi dilakukan di Jerman dan Indonesia.

Koreografer

Ninus dan Schaffer adalah koreografer kontemporer dari dua konteks yang sangat berbeda. Ninus berasal dari Jawa, tinggal di Bali, dan belajar tari Jawa sejak usia dini. Schaffer berasal dari Belanda dan Amerika Serikat, tinggal di Berlin, dan relatif terlambat belajar tari Bali klasik.

Mereka pertama kali bertemu pada tahun 2016 dalam audisi untuk P.A.R.T.S. Kolaborasi pertama mereka dimulai tahun 2018, saat Schaffer belajar seni tari Bali di Mekar Bhuana Center di Denpasar. Bersama-sama, mereka memulai pertukaran artistik dengan memeriksa berbagai sikap, tradisi, dan wacana seputar tari sebagai bentuk seni, dan membawa pemikiran ini ke dalam dialog dengan proses artistik mereka sendiri.

Dua pertanyaan muncul dalam proses itu, pertanyaan yang ingin dijawab oleh Ninus dan Schaffer bersama seniman tari yang berbasis di Berlin dan Bali dalam karya “Bee Dances”. Pertama, seperti apakah karya tari yang benar-benar transkultural? Dengan kata lain: adakah karya tari yang dapat memenuhi ekspektasi penonton tari kontemporer Berlin maupun penonton tari tradisional Bali? Pertanyaan kedua: seperti apa teknik tari kontemporer yang didasarkan pada tari klasik Indonesia (bukan balet!)?

Dibimbing oleh penari Bali dan koreografer Ketut Rahayu yang berbasis di Berlin, Ninus dan Schaffer akan membuka serangkaian pertukaran, bersama rombongan tari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Berlin, komposer Bali I Wayan Gede Purnama Gita, dan rekan lainnya dari skena tari di Berlin dan Bali. Yang dipertaruhkan adalah penjajaran yang cermat antara tarian tradisional Nusantara dengan pengetahuan somatik teknik tarian Eropa kontemporer. Hasil pertukaran ini menjadi bagian dari “Bee Dances”.

Ninus (1990) adalah arsitek dan penari yang tinggal di Bali. Dia mulai berkreasi pada 2014 setelah memutuskan pindah dari Jakarta ke Bali. Latar belakangnya dalam arsitektur mempengaruhi proses kreatifnya dalam menari. Dia melihat tarian dalam arsitekturnya, dan sebaliknya. Ini menciptakan ciri khas karyanya, yang sebagian besar dikhususkan untuk tempat tertentu (site-spesific) dan berciri visual yang mengutamakan komposisi, wujud, bentuk, dan tekstur dalam ruang, bukan bercerita dengan karakter/narasi.

Ninus aktif terlibat dalam banyak proyek kolaborasi dengan seniman multidisiplin lainnya. Dia berkomitmen untuk menjelajahi metode membuat dan merancang pintu masuk yang dapat diakses ke karya tarinya. Dalam pengertian ini, dia mencoba melihat titik masuk dari perspektif yang lebih luas dan terkadang dari sudut pandang ekstrem — misalnya, menggunakan fotografi atau prinsip arsitektur ruang tuli sebagai titik tolak.

Schaffer adalah koreografer dan penampil. Dalam karya-karya “pasca-pascamodern”-nya, dia menjelajahi nubuat, gulat lumpur, thriller, renang indah, foley, emoticon, format percakapan, dll. Karya terbarunya termasuk diptych tentang pahlawan wanita tragis Kassandra (“Cassandra Has Turned 1 + 2”, 2018), karya fiksi penggemar tentang Angela Merkel (“Merkel Dances”, 2019), dan penyelidikan komprehensif tentang foley, sulih bunyi dalam film, sebagai alat koreografi (“Unheard of”, 2016). Schaffer adalah penerima Pina Bausch Scholar dan dinominasikan oleh Jahrbuch Tanz untuk penghargaan “Dancer of the Year 2018”.

Pertunjukan dan Diskusi

Keenam penari “Bee Dances” tampil diiringi live music dari Klaus Janek dan video iringan musik gamelan dari komposer I Wayan Gede Purnama Gita yang diproyeksikan ke layar di ruang Uferstudios 1, Berlin.

Pertunjukan “Bee Dances” tampil perdana secara daring dengan sistem video on demand pada 27 – 28  Februari 2021 (28 Februari – 1 Maret 2021, waktu Indonesia) melalui kanal Youtube Tanzfabrik Berlin (informasi selengkapnya, https://www.tanzfabrik-berlin.de/en/events/1252/2021-02-27-19-00). Direncanakan, pertunjukan juga akan ditampilkan secara langsung di Bali pada pertengahan tahun ini.

Sehari seusai pertunjukan perdana “Bee Dances”, digelar Artist Talk pada 28 Februari, pukul 21.00 WITA. Perbincangan menampilkan panelis Anak Agung Gde Oka Dalem (Koreografer & Direktur Balerung Stage, Bali),  Ida Ayu Wayan Arya Satyani (Koreografer & Dosen Seni Tari ISI Denpasar, Bali), Zwoisy Mears-Clarke (Koreografer dan Performer, Berlin), dan Dr. Ingo Schöningh (Kepala Program Kebudayaan Goethe-Institut, Berlin). Acara dipandu oleh Ludger Orlok (Direktur Artistik Tanzfabrik Berlin).

Pertunjukan Perdana

Sabtu, 27.02.21. 19.00 (CET/Berlin)

Minggu, 28.02.21. 02.00 (WITA/Bali)

* Video on demand 

* Medium: YouTube channel Tanzfabrik Berlin 

* Online hingga 28.02.21 10 pm CET/Berlin (01.03.21. 05.00 WITA/Bali)

Artist Talk 

Minggu, 28.02.21. 2pm CET/Berlin (21.00 WITA/Bali)

* Registrasi melalui email: anmeldung@tanzfabrik-berlin.de  

* Medium: Zoom

Gambar Utama: Foto oleh Saki Tagami.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *