Bahasa Anak kepada Ibunya | puisi-puisi Rahmat Wahyudi
Di Ruang Tunggu RSCM Detik jatuh berangsur ke lantai Aku buru-buru memungutinya sebelum begitu berlalu Ini ruang tunggu, tempat orang-orang berharap maju paling dahulu Di lantai, kutemukan garis takdir Megitari satu persatu wajah pasien Saat detik menghilang, ruang melengkung seperti alis. Tapi tak ada di antara orang-orang antri yang mau melihat alis; sebab warnanya hitam. Lalu kuubah alis menjadi pelangi : setiap warna kusimpan dalam berkas BPJS Cikini, Maret 2021 Bahasa Anak Kepada Ibunya 1/ aku telah lahirkan bahasa kepada ibu adalah tangis sejak bayi: sejak masih tertaut ari-ari. ibu tahu apa yang aku ucap kepada tetangga ketika baru belajar bicara "pumama" anakku mau pipis! 2/ aku telah rawat bahasa kepada ibu adalah tangis di akhir bulan ketika token listrik bunyi dan jualan sedang sepi "jangan minta saku dulu." 3/ kini aku kembalikan bahasa kepada ibu adalah tangis di hadapan batu nisan ketika umur genap dua puluh Dari St Cikini Menuju St Kramat “Kita jalan kaki saja, Dik. Uang saku dari Ibu simpan saja nanti di rumah kita kembalikan. Pakai buat naik kereta saja. Jangan dengarkan kata Ibu soal bajaj. Putaran rodanya bisa melebihi sisa mata uang yang kita punya.” Ujarku,ketika jalan sepi berjuntai. Kami hanya jalan kaki, dari Stasiun Cikini menuju Stasiun Kramat. Singgah di dua tempat: Laboratorium Prodia dan Rumah Sakit Carolus—hanya untuk mengambil seberkas kertas, hasil uji lab Ibu. Di perjalanan, kami seperti orang terdampar. Hanya Google Map yang Tuhan sediakan. Setibanya di Stasiun Kramat, kami mengintip berkas-berkas hasil uji lab yang horor itu. Dan terlihat pada angka-angka dalam berkas: wajah Ibu sedang tersenyum kaku. 30 Sep 2021 Khawatir Kepada Ibu sewaktu remaja, khawatir kepada ibu cukup sederhana. seperti takut ketika baju kotor setelah bermain sepak bola atau buru-buru pulang sebelum maghrib berkumandang. khawatir kepada ibu kini semakin rumit: aku harus siap ongkos agar sampai kampung halaman. hanya untuk sekedar memastikan: apakah ia sudah makan. 2021 Dalam Ambulance Bekasi-Banyumas Aku ingin ke Banyumas, melihat wajah ibu sebelum sebentar lagi ditutup tanah. Pada bising kota Bekasi, tak ada suara Yasinan. Hanya lampu jalanan yang merunduk murung menghadap kepadaku kaku. Sirine ambulance ini, adalah tangisku yang paling jerit. Betapa orang-orang mefsirkannya suara darurat. Dan kilometer perjam adalah doaku yang buru-buru: yang berharap masih bisa melihat wajah ibu. Seusai Pengambilan Sampel Biopsi Ia meraba-raba tubuh yang diambil kulitnya. Lalu ia ucapkan: “Pergilah rezim yang tinggal di badanku!” Kulit telah melupakan bagian tubuh setelah bertemu pisau bedah. segera diperban sebelum menjadi demonstran Pendapat dokter mengatakan bahwa ada dua kemungkinan rezim ini, entah itu dari luar, atau dari dalam tubuh. dan aku selalu curiga dengan sesuatu yang dari dalam: yang tak nampak dan sulit ditebak Wajah Ibu Yang Dahulu malam. aku hanya dengar suara tangis ibu dan suara kipas angin. sesekali mendengar suara jangkrik menderik dari kejauhan. aku telah mengenal malam, hari ini ia hadir membalun dengan wajah ibu yang dahulu; wajah yang masih. sejak masih lincah, belum ada setahun ibu masih jualan. kami masih bisa mencandakan hari esok: hari yang entah pendapatan berapa hari yang entah bisa makan lauk apa hari yang entah kondisinya bagaimana tetapi hari esok telah menjadi hari ini : mulut kita terkunci atas apa yang pernah kita candakan. 19 Juli 2021 Yang Sedang Meloncat Di Kepalaku Adalah tupai-tupai kecil saat aku sedang sibuk menanam doa di dataran duka. Di bawah akasia, di hadapan nisan. Bola mata mengeras seperti kayu Yang lalu tiba-tiba keluar getah Tanpa Ibu Aku Hanya Sperma Des 2020

Rahmat Wahyudi kelahiran tahun 2000. Bergiat di komunitas Literasi Jalanan Babelan (Terjal Babelan), Kelas Puisi Bekasi, juga Rumah Pelangi Bekasi.