Apel Hendrawan Menembus Dimensi Spiritual Bali
Wayan Apel Hendrawan dilahirkan dan tinggal di Sanur, kawasan yang terkenal sebagai salah satu pusat tradisi spiritual-religius dan sejarah kultural-artistik di Bali. Selain perupa, Apel juga seorang pendeta Bali. Latar belakang biografis itu begitu kuat memengaruhi perjalanan kreatif Apel sebagai perupa.
Budaya Bali, terutama tradisi spiritualnya yang tua dan kaya, adalah mata air inspirasi bagi seni rupa Apel. Di sepanjang kariernya sebagai perupa, Apel gigih menggali khazanah spiritual-religius tradisional Bali untuk diterjemahkan menjadi karya seni lukis bercorak modern.
Upaya kreatif kekinian dalam memaknai tradisi warisan leluhur diperlihatkan Apel dalam karya-karyanya yang ditampilkan dalam pameran tunggalnya, “The Secret of Cosmic Energy Continues”. Pameran ini diselenggarakan secara daring dan luring. Pameran online berlangsung di booth Galeri Zen1 (2) di Art Moments Jakarta Online 2021, 1 – 30 Juni. Pameran offline digelar di Galeri Zen1 Kesiman, Bali, 16 Juni – 17 Juli.

Hubungan antara alam, tuhan, dan manusia – filosofi tradisional yang mendasari budaya Bali – merupakan tema besar yang dijabarkan Apel dengan berbagai subject matter dan visual dalam lukisan. Dalam hubungan itu tercakup pula gagasan tentang manusia sebagai mikrokomos yang mencerminkan alam semesta sebagai makrokosmos.
Alam tampil perkasa dalam sejumlah lukisan Apel yang bersubjek gunung. Kedahsyatan energi alam diungkapkan melalui penggambaran gunung berapi meletus. Gunung pada kanvas Apel tampak menyemburkan asap, api, lava, dan magma. Namun, citra gunung meletus itu tidak semata berbicara tentang bencana dan kehancuran. Dalam budaya Bali, gunung bukanlah objek alam atau lanskap belaka, melainkan situs istimewa yang sarat muatan spiritual-religius. Masyarakat Hindu-Bali menganggap gunung sebagai tempat sakral, lokasi persemayaman dewa. Banyak ritual keagamaan penting Hindu-Bali dilaksanakan di gunung. Lebih dari sekadar fenomena alam, gunung meletus dalam lukisan Apel mewakili energi spiritual dan kuasa ketuhanan.

Sejumlah lukisan lain menampilkan subjek binatang, yaitu kuda, gajah, dan kerbau. Sebagaimana gunung, binatang-binatang tersebut mengusung makna simbolis penting dalam budaya Bali. Mereka adalah tunggangan dewa. Dewa Surya menunggang kuda, Dewa Indra menunggang gajah, dan Dewa Yama menunggang kerbau. Sebagai bagian dari dewa, binatang-binatang itu melambangkan karakter dewa yang menungganginya. Dalam pandangan religius Bali, manusia berpotensi “menjadi dewa”. Pada tahap spiritual tertinggi, manusia bisa memiliki sifat ketuhanan. Sejalan dengan pandangan tentang adanya potensi kesejajaran antara dewa dan manusia, binatang tunggangan dewa dalam lukisan Apel mencerminkan karakter manusia.

Beberapa lukisan Apel mengetengahkan figur manusia tunggal. Lukisan-lukisan bersubjek manusia itu mengungkapkan pandangan Bali tentang fase-fase perjalanan rohani yang ditempuh manusia dalam kehidupan. Melewati pergolakan batin yang tidak ringan, manusia memiliki potensi untuk berkembang secara spiritual dari tahap kasar ke tahap halus. Manusia dapat meningkatkan derajatnya dengan mendaki tangga spiritual. Berproses dari tingkatan rendah yang lekat dengan problem dan kemilau duniawi ke tingkatan tinggi yang berdimensi ketuhanan.

Dalam kosmologi Bali, alam semesta tersusun dari lima elemen fundamental yang disebut Pancamahabhuta, yaitu tanah, air, api, udara, dan ruang. Elemen-elemen fundamental tersebut digambarkan secara simbolis dalam karya Apel. Hampir semua lukisan Apel memiliki unsur visual yang menyiratkan elemen-elemen fundamental alam semesta. Ada warna hitam atau coklat yang berkaitan dengan tanah. Ada warna biru atau hijau yang mengingatkan pada air. Ada warna merah atau bentuk mirip lidah api yang mewakili api. Ada suasana berkabut yang membangkitkan kesan tentang pergerakan udara dalam ruang.
Kosmologi Bali tentang alam semesta yang tercipta dari elemen-elemen fundamental juga bergema dari cara Apel melukis subjek. Berbagai bentuk yang dapat dikenali, seperti manusia, binatang, gunung dsb., sering tampak tersusun dari paduan ekspresif bidang-bidang warna. Bidang-bidang warna tidak hanya membentuk citra objek tertentu, tetapi juga sering mengisi latar di sekitar objek. Dengan cara itu, Apel seperti mengatakan bahwa segala sesuatu tersusun dari elemen-elemen fundamental yang sama.
Satu tanda kultural Bali yang sangat kuat memberikan ciri khas pada karya Apel adalah aksara Bali. Lukisan Apel berguratkan aksara Bali yang mengingatkan pada tulisan suci atau tulisan mistis dalam tradisi Bali. Di Bali, praktisi dunia spiritual seperti pendeta dan balian biasa memanfaatkan kekuatan aksara untuk sarana pelindungan, pemberdayaan, penyembuhan dsb. Pengguratan aksara untuk tujuan spiritual terdapat dalam praktik pembuatan jimat rajah maupun peneraan simbol suku kata mistis pada tubuh manusia.
Selain berguratkan aksara Bali, sejumlah lukisan mutakhir Apel juga bertorehkan gambar mandala. Mandala adalah simbol berbentuk lingkaran yang biasa digunakan untuk melakukan pemusatan pikiran ketika bersemadi. Sebagaimana aksara Bali, mandala juga bisa berwujud diagram mistis pada jimat rajah. Selain mengangkat nilai visual artistik aksara Bali dan mandala, Apel memberikan konteks dan makna baru pada ragam tradisi mistisisme Bali.

Meskipun berpijak pada tradisi budaya leluhur Bali, karya Apel tidak merayakan kelokalan dan kelampauan belaka. Visi Apel mengarah ke dunia luas, ke situasi kini dan kelak. Karya Apel menyuarakan pentingnya menjaga harmoni dengan alam, merawat nilai spiritual, dan meningkatkan harkat-martabat kemanusiaan. Di dunia kontemporer yang didera problem ekologis parah dan ancaman krisis kemanusiaan akibat pendewaan materi, pesan yang dikumandangkan karya Apel tidak saja sangat relevan, tetapi juga sungguh berharga dan bermakna. Seni lukis Apel menyelami khazanah lokal untuk menginspirasi dunia global, menggali masa lampau demi menciptakan masa kini dan masa depan yang lebih baik.
