Anak yang Bercahaya | esai Aminudin TH Siregar

Perupa muda Bintang Tanatimur menggelar pameran “17” di Pendhapa Art Space, Yogyakarta, 17-28 Agustus 2022.

Mikke Susanto, kurator dan akademikus seni, menyambut hangat kedatangan saya di rumahnya. Pada akhir Agustus 2018 silam, saya berkesempatan ke tanah air untuk melakukan kerja lapangan. Salah satu kota yang saya sasar untuk mengumpulkan ragam bahan atau wawancara, tentu saja, adalah Yogyakarta. Selain itu, secara kebetulan, Mikke sebelumnya juga menerima proposal saya untuk mempresentasikan riset tesis saya di lingkungan kampus ISI-Yogya. Mikke kemudian menawarkan saya menginap selama beberapa hari di rumahnya untuk melihat-lihat koleksi arsip dan pustaka seni rupa. Selain untuk keperluan itu, kami sepakat akan lebih mudah bersama-sama ke kampus untuk acara presentasi nanti. Di rumah Mikke yang asri, di pinggir area pesawahan yang sejuk, saya menempati kamar anaknya, Bintang Tanatimur. Saya takjub melihat sejumlah lukisan terpampang di dinding kamar. “Itu lukisan-lukisan Bintang,” kata Mikke. Saat itu usianya masih belia, tigabelas tahun, dan saat itu sudah melakukan dua kali pameran tunggal. Usia yang terlalu belia bahkan untuk berikrar sebagai seniman. Akan tetapi, “Bintang,” lanjut Mikke, “kepingin jadi seniman”. Saya mencermati sekeliling rumah. Tentu saja itu bukan keputusan yang aneh.

Sejak kecil Bintang memang sudah dikepung dengan pengalaman-pengalaman “artistik” dan “diskursus” seni yang kuat yang dibangun orangtuanya. Hampir setiap malam Mikke kedatangan tamu. Di ruang tamu itu mereka duduk lesehan untuk mendiskusikan hal apa saja. Dan, tentu, keramaian-keramaian di dunia seni rupa. Rumah Mikke yang berlantai dua itu berjejal buku. Sejak dua puluh tahun lalu, ia sudah mengoleksi, mengkliping, dan mendigitalkan segala arsip yang berkenaan dengan aktivitas seni rupa, khususnya Indonesia. Di lantai dua itu pula Mikke mengelola sebuah lembaga yang ia beri nama Dicti Art Laboratory. Lembaga yang berdiri pada 2011 sudah beberapa kali menerbitkan buku, misalnya, yang terakhir, buku Mengapa sih Lukisan Mahal?: Wacana Penerapan Harga Karya Seni (2021) yang disunting dari tesis doktoralnya. Hemat saya, meski pengelolaannya dikerjakan secara sederhana, lembaga ini tapi berdampak besar bagi infrastruktur arsip sejarah seni rupa Indonesia, khususnya produksi pengetahuan. Menimbang dua pokok tersebut, yang saat ini masih karut-marut, posisi DictiArtLab menjadi sangat penting. Mata saya berkeliling. Pada dinding rumah juga saya lihat banyak terpasang karya-karya istrinya, Rina Kurniyati, yang belakangan menekuni seni lukis kaca kontemporer. Rina memainkan peran penting dalam mengafirmasi kekuatan sosiologis di dalam rumah. Maka, saya tidak akan heran apabila sejak kecil Bintang lekat dengan dunia seni rupa dengan berbagai hiruk-pikuknya. Dia lahir di “pantheon Mikke dan Rina.”

Kini, saya kurang ingat secara persis karya seperti apa yang pernah saya saksikan selama menghuni kamar Bintang. Tapi samar-samar muncul kesan bahwa lukisan-lukisan Bintang saat itu cukup mencengangkan saya karena menawarkan dunia khayal yang mulai beranjak dari dunia kanak-kanak. Di lukisannya, Bintang sudah membangun asosiasi-asosiasi baru, selain pantulan-pantulan dari pencarian-pencarian estetiknya. Terkadang, saya rasakan, terselip keinginannya untuk menawarkan metafor sederhana yang barangkali ia simpulkan dari pengalaman sosialnya. Kenyataan ini cukup menarik. Bagaimanapun, Bintang adalah generasi yang terlahir sebagai generasi yang paling terkoneksi. Generasi ini menjelangi kedewasaannya di saat internet telah mengaduk-aduk realitas dunia orang banyak. Tapi Bintang mencoba bergerak mencoba untuk “menemukan realitas yang otentik”. Di luar soal itu, saya juga menemukan “kedewasaan” Bintang dalam memiliki warna dan menyapu kuas. Terasa bagaimana pribadinya berusaha mengkontrol antara kelenturan tangan dan ekspresi. Seingat saya, tidak semua lukisannya di kamar itu memperlihatkan kecenderungan yang naif – seperti lazimnya lukisan kanak-kanak. Di usai tigabelas tahun, dia telah beranjak memasuki sebuah “dunia baru” yang akan segera dia candrai.

Karya-karya Bintang di usianya sekarang, tujuh belas tahun, jelas telah mengalami kemajuan pesat. Metafornya semakin tajam. Itu terlihat melalui karakter yang berulang kali muncul, seperti kepala dari sebuah sosok. Suatu kali ia pernah menamakan karakter-karakter itu sebagai “Mimigar”. Kepala-kepala itu pernah hadir bagaikan potret yang dirampakkan. Kita seakan-akan disuguhkan ragam ekspresi sekelompok manusia imajiner dari dunia sekarang dan masa lalu. Mereka semua muncul tanpa konteks, tapi membawa krisis permasalahan yang tidak sederhana. Saya merasakan suatu kritisisme yang kuat yang ingin disasar Bintang melalui rangkaian tersebut.

Bintang Tanatimur

Karya-karya terkini Bintang memanfaatkan material bekas pakai – yang secara kurang tepat sering kita sebut dengan “sampah”. Pada kertas-kertas bekas yang ia bentangkan, Bintang mencorat-coret dan membubuhkan aneka teks dari berbagai bahasa dunia. Dengan teks-teks itu, ia ingin bertanya dan mempertanyakan ketidakmampuan manusia global mengelola material bekas. Saya menangkap suatu hal dari sana. Dalam domain estetika, seorang seniman senantiasa menyaksikan suatu kelahiran kembali. Itu didorong dari minatnya untuk mengaitkan diri ke dalam isu-isu global. Dari titik itu, dia lalu mempertimbangkan pengalaman seni dalam kerangka hubungan antara subjek dan objek. Saya kira, rangkaian karya terbaru Bintang cukup mampu menawarkan suatu penyelidikan ulang terhadap status ontologis kualitas estetika. Ini juga berarti seniman menekankan peran yang juga diorkestrasi oleh sejumlah faktor ekstrinsik yang memisahkan “seni dari non seni” atau sebaliknya.

Namun, terlepas dari kerumitan teoritik tersebut, saya percaya perjalanan Bintang masih panjang untuk menajamkan proses kesenimanannya. Dia akan mendaki jalur yang berliku-liku. Ia masih akan membuktikan kriteria semacam apa yang bisa berkontribusi dalam memberikan nilai budaya, otoritas dan legitimasi pada karya seni. Saya percaya dia akan terus berproses mensublimasikan nilai material dan ekpresi pribadi. Sampai pada suatu titik, dia akan memutuskan pilihan-pilihan yang berdatangan kepadanya. Saya berharap Bintang tidak tergesa-gesa menjadi “seniman dewasa”. Perspektifnya sebagai anak muda dalam melihat realitas sosial juga praktik seni rupa Indonesia mutakhir masih diperlukan dan sangat berharga.     

Leiden, Juli 2022

Aminudin TH Siregar adalah pengajar seni rupa di Institut Teknologi Bandung. Menempuh studi doktoral sejarah seni di Universitas Leiden, Belanda.

*Foto-foto dokumentasi Dicti Art Lab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *