CandikataEsaiRupaSeni

Adorasi bagi Fuji

oleh Jafar Suryomenggolo

Gunung Fuji sebagai gunung tertinggi di Jepang tidak hanya menjadi simbol geografis Jepang, tetapi juga telah lama menjadi simbol budaya Jepang dan bahkan juga negara Jepang itu sendiri. Tak heran, sejak 2013, Gunung Fuji diakui sebagai salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.

Sekian generasi seniman Jepang, dari berbagai latar daerah, sosial, dan ekonomi, memang telah mengangkat Gunung Fuji sebagai obyek karya seni mereka, dan menuangkannya dalam lukisan pemandangan, coretan sketsa, dan yang paling umum adalah gambar ukiyo-e.

Ukiyo-e adalah teknik cukil kayu yang dipergunakan sebagai cetak blok guna memperbanyak lukisan tangan, baik berupa lukisan pemandangan, flora dan fauna, sejumlah aktor Kabuki ternama pada zamannya, masyarakat, dan kehidupan sehari-hari, termasuk juga fantasi dan adegan intim (yang dikenal sebagai “shunga”). Lukisan cetak ukiyo-e diproduksi massal dan dikonsumsi meluas selama zaman Edo (1603-1868).   

Sebagai seni, ukiyo-e dinikmati oleh orang Jepang secara populer, dan juga memengaruhi berbagai seniman. Di dalam khazanah seni lukis Barat, pengaruh ukiyo-e terasa dalam beberapa lukisan karya seniman impresionisme, seiring dengan dibukanya Jepang dan masuknya barang-barang impor Jepang ke Eropa sejak awal abad ke-19.

Berlangsung selama 15 Juli hingga 12 Oktober 2020 di Musée national des arts asiatiques (Museum Nasional Seni Asia) di kota Paris (Prancis), pameran Fuji, pays de neige (Fuji, dusun salju) menampilkan sekitar 70 ukiyo-e yang menggambarkan suasana musim dingin ataupun pemandangan salju dengan latar Gunung Fuji. Sebagian besar ukiyo-e yang dipamerkan adalah koleksi museum sendiri.

Pembaca mungkin langsung mengenali bahwa judul pameran ini diangkat dari judul sebuah novel karya Kawabata Yasunari, yakni: Yukiguni 雪国, yang pernah diadaptasi ke layar lebar (1957). Novel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Anas Ma’ruf sebagai “Negeri Salju” (1972), dan kemudian oleh Matsuoka Kunio dan Ajip Rosidi sebagai “Daerah Salju” (1997/ 2016). Meskipun latar belakang novel tersebut adalah sebuah dusun di provinsi Niigata, yang sesungguhnya terletak jauh dari Gunung Fuji, kiasan akan salju yang menyelimuti Gunung Fuji dianggap mampu membangkitkan imajinasi pengunjung.    

Seraya membimbing pengunjung untuk menikmati karya-karya ukiyo-e, pameran ini terbagi dalam lima bagian. Di awal pameran, pengunjung diajak untuk memahami arti simbolis Gunung Fuji dalam berbagai karya seni Jepang.

Seni ukiyo-e mampu menampilkan sisi sentimental Gunung Fuji dalam cita-rasa dan olah karsa masyarakat Jepang, terutama di zaman Edo yang ditandai dengan berpindahnya ibu kota dari Kyoto ke Tokyo dan masa damai tanpa perang saudara. Masa damai ini melancarkan hubungan dagang sehingga masyarakat makin sejahtera dan memantapkan posisi golongan pedagang di dalam susunan masyarakat Jepang. Berbagai jenis hiburan populer juga muncul.  

pameran
“Peziarah di hadapan gunung Fuji” karya Yashima Gakutei (1786-1868), yang menjadi poster utama pameran.

Selanjutnya, pengunjung disuguhi beberapa karya Katsushika Hokusai (1760-1849) dan Utagawa Hiroshige (1797-1858) – yang sudah lazim diterima sebagai karya klasik ukiyo-e.  Hokusai, yang terkenal lewat lukisan ukiyo-e Ombak Besar di Kanagawa, juga menghasilkan berbagai lukisan ukiyo-e yang menggambarkan Gunung Fuji dari berbagai sudut. Pameran ini menghadirkan karya utamanya berupa empat ukiyo-e yang menggambarkan rupa Gunung Fuji dari berbagi sisi.

Dari sini pengunjung bisa memahami bagaimana Gunung Fuji hadir dan dihayati di hadapan masyarakat Jepang secara berbeda-beda, dengan sudut pandang yang tidak sama, dan dalam warna yang beragam pula. Ini menjadikan Gunung Fuji tampil sebagai gunung yang mampu merangkai dan merangkum ekspresi imajinasi, perasaan, dan sentimen orang Jepang umumnya.  

exhibition
Pengunjung menikmati ukiyo-e Empat Rupa Gunung Fuji karya Katsushika Hokusai.

Sekedar informasi, keempat ukiyo-e tersebut adalah koleksi milik museum ini sendiri. Museum ini memiliki koleksi ukiyo-e karya Hokusai terbesar di Eropa, setara dengan Museum Hokusai di kawasan Sumida, Tokyo, dan Museum of Fine Arts (Museum Seni Rupa) di Boston, Amerika Serikat.  

Di bagian berikutnya, pengunjung disuguhi serangkaian ukiyo-e yang menggambarkan kisah perjalanan menembus salju dan efek salju dalam seni Jepang. Selama berabad-abad masyarakat Jepang telah menapaki Gunung Fuji sebagai peziarah, penakluk alam, pendaki gunung, dan juga sekedar pelancong.

Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Jepang untuk mencoba mendaki Gunung Fuji, setidaknya sekali dalam hidup mereka. Rute pendakian Gunung Fuji sangat ramai saat musim panas (Juli-Agustus) karena memang hanya dibuka pada musim itu saja setiap tahunnya. Jadi, mengunjungi Gunung Fuji saat musim dingin, terutama saat turun salju, menjadi suatu hal yang luar biasa. 

Karya-karya ukiyo-e juga menggambarkan tradisi mendaki Gunung Fuji saat musim panas, dan perjalanan menembus salju saat musim dingin.  Beberapa karya memberikan gambaran yang sangat realistis tentang kehidupan sehari-hari di sekitar Gunung Fuji, dan bagaimana orang menempuh perjalanan tersebut. Berseluncur di atas es (ice-skating) sebagai olahraga atau hiburan belum lazim pada masa itu, meski orang Jepang sudah mengenal teknik berseluncur dengan gerobak ditarik rusa.

Salah satu yang menarik adalah ukiyo-e karya Isoda Koryusai (1735-1790) yang menggambarkan sepasang kekasih saat bersama bermimpi berjalan-jalan di Gunung Fuji. Tidak soal apakah perjalanan tersebut sungguh terjadi. Ia adalah perjalanan artistik yang juga menjadi mimpi banyak orang yang ingin menempuh perjalanan tersebut bersama dengan kekasih hati sebagai perlambang perjalanan kisah mereka berdua.

exhibition
“Mimpi berjalan-jalan di Gunung Fuji” karya Isoda Koryusai

Selain itu juga disajikan beberapa ukiyo-e ternama karya Utagawa Kuniyoshi (1798-1861) yang menggambarkan pemandangan kota saat musim salju. Di dalam seni rupa Jepang, salah satu kemahiran seni lukis pemandangan adalah penggambaran salju.

Putihnya salju tidak pernah putih (meski dalam bayangan orang Indonesia kebanyakan, salju seperti seputih kapas, atau kiasan bahasa “seputih salju”). Demikian pula, di dalam ukiyo-e, salju tidak melulu putih, tidak juga berkilau meski ditimpa sinar matahari, dan kebanyakan seniman ukiyo-e menekankan intervensi minimalis atas warna salju.  

Di bagian terakhir, pengunjung diajak menikmati penggambaran salju dalam karya-karya ukiyo-e modern, terutama oleh Kobayashi Kiyochika (1847-1915) dan Kawase Hasui (1883-1957). Kedua seniman tersebut bukan hanya telah menyelamatkan seni ukiyo-e dari serbuan teknologi, tetapi juga membangkitkannya menjadi seni yang khas Jepang. Kobayashi bahkan berhasil menghadirkan lukisan salju yang semakin terlihat realistis dan natural.

Dunia masyarakat Jepang juga sudah berubah sejak Reformasi Meiji dan bangkitnya militerime-fasisme Jepang. Kobayashi hidup dalam masa Perang Jepang-Tiongkok Pertama (1894-1895) yang disusul dengan Perang Jepang-Rusia (1904-1905), sementara Kawase hidup dalam masa Perang Jepang-Tiongkok Kedua (1937-1945) yang disusul dengan Perang Dunia Kedua. Situasi politik dan ekonomi Jepang ini juga tercermin dalam karya-karya mereka.

Menariknya, baik Kobayashi dan Kawase membaca novel-novel karya Nagai Kafu (1879-1959) yang dipengaruhi oleh para novelis Prancis aliran realisme.  

exhibition
“Kuil Zojoji saat turun salju” karya Kawase Hasui (1953).

Ukiyo-e adalah seni khas Jepang, dan penggambaran Gunung Fuji yang diselimuti salju adalah salah satu puncak kesenian Jepang yang merangkum olah rasa dan karsa masyarakat Jepang, sepanjang masa, dulu dan sekarang.

jafar_suryomenggolo
JAFAR SURYOMENGGOLO

Penulis, bermukim di Paris, Prancis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *